Jakarta, CNN Indonesia -- Proyek satu juta rumah murah yang dirancang oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) diyakini bakal tersandung masalah ketersediaan lahan. Terlebih, pemerintah telah memutuskan hanya akan membangun 10 persen dari total rumah murah yang dibangun tahun ini dan 90 persen sisanya diserahkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda bahkan menyebut program rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tersebut sebagai omong kosong yang membicarakan mimpi.
Menurut Ali jangankan memasang target bisa membangun 1 juta rumah, untuk membangun 200 ribu unit rumah tanpa campur tangan pemerintah dalam menyediakan lahan maka mustahil program tersebut bisa berjalan. Pemerintah disebutnya tidak bisa hanya menyediakan fasilitas pembiayaannya saja, karena yang jadi masalah adalah ketersediaan tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Proyek rumah murah paling banyak yang bisa dibangun pemerintah pada zaman Orde Baru, yaitu sebanyak 170 ribu rumah per tahun. Tapi karena tidak ada ketersediaan tanah, akhirnya proyek itu juga gagal,” kata Ali ketika dihubungi, Kamis (5/3).
Ali menyayangkan keputusan pemerintah yang hanya akan membangun 10 persen dari total proyek rumah murah setiap tahun melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Dengan menyerahkannya kepada BUMN dalam hal ini Perum Perumnas dan perusahaan swasta yang menjadi anggota Realestat Indonesia, dia memperkirakan harga jualnya jauh lebih tinggi dari ekspektasi pemerintah.
Pria berkacamata tersebut mengatakan, setiap perusahaan yang beroperasi di negara manapun pasti memiliki orientasi keuntungan. Tidak terkecuali Perumnas yang terdaftar sebagai BUMN yang sangat diharamkan jika mengalami rugi oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Ingat tidak, pemerintahan sebelumnya pernah punya target 1.000 tower rusunami ketika Wakil Presidennya juga Jusuf Kalla (JK). Tapi karena diserahkan ke swasta jadi ada motif bisnis disitu, rusun yang seharusnya untuk masyarakat tidak mampu malah dijual secara komersil,” kata Ali.
Dia menyebut proyek Kalibata City merupakan contoh konkrit bagaimana perusahaan swasta bisa mengalihkan tujuan utama pembangunan rusunami menjadi lebih mirip apartemen lengkap dengan fasilitas-fasilitas perbelanjaan.
“Kalibata City itu hanya 10-20 persen saja yang dijual dengan harga Rp 144 juta per unit, selebihnya dijual ke mereka yang justru memiliki uang dan banyak juga yang dijual ke
broker,” tegasnya.
Sebelumnya
Deputi Bidang Pembiayaan Perumahan Kementerian PU-Pera Maurin Sitorus memastikan instansinya hanya akan menyediakan lahan untuk 10 persen jumlah rumah murah yang akan dibangun, sedangkan 90 persen sisanya dibebaskan ke pengembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam catatan Maurin, pemerintah hanya memiliki rencana menyediakan lokasi untuk pembangunan 98.300 unit rumah murah. Lokasinya tersebar di daerah-daerah perbatasan, pesisir dan pedalaman, mulai dari wilayah timur hingga barat Indonesia.
"Untuk lokasi pembangunan rumah tapak dan Rusunawa bagi nelayan, Polri, dan PNS di daerah perbatasan ditentukan oleh pemerintah, sedangkan sisanya itu tergantung mekanisme pasar karena pembangunannya melibatkan pengembang," kata Maurin.
Sementara
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Penyediaan Rumah Kementerian PU-Pera Syarif Burhanudin memastikan tahun ini pemerintah hanya menargetkan untuk membangun 600 ribu rumah murah, tidak sebanyak satu juta unit seperti nama besar program tersebut.
Syarif memperkirakan April 2015, proyek perdana rumah murah bisa mulai dikerjakan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan properti anggota REI untuk mengerjakan 211.128 unit rumah dan sisanya digarap oleh Perumnas, BPJS, dan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS).
(gen)