Jakarta, CNN Indonesia -- Ali Soebroto Oentaryo, Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), menjelaskan sekitar 80 persen komponen biaya industri elektronik menggunakan mata uang dolar AS. Alhasil, pelemahan rupiah terhadap mata uang Negeri Paman Sam itu membuat pelaku industri elektronik nasional semakin terpukul.
Sejak dibuka di level Rp 12.385 per dolar AS pada 1 Januari 2015, Reuters mencatat rupiah telah mengalami koreksi 28 persen. Pada perdagangan Senin (9/3), rupiah ditutup di level Rp 13.055 per dolar AS.
"Tak hanya yang diimpor, komponen yang dibeli di dalam negeri pun pakai dolar. Termasuk harga gas dan listrik swasta, itu juga acuannya dolar," jelasnya kepada CNN Indonesia, Selasa (10/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya biaya produksi yang harus ditanggung produsen elektronik membengkak. Untuk menghindari rugi kurs, Ali mengatakan mau tak mau pengusaha harus membagi beban ekonomi yang ditanggungnya kepada konsumen.
"Seharusnya kenaikan biaya produksi dibebankan ke pasar, tapi masalahnya tidak mudah karena konsumen sulit menerima perubahan harga yang terlalu tinggi," tuturnya.
Agar kenaikan harga elektronik masih bisa diterima pasar, kata Ali, produsen terpaksa mengimbanginya dengan melakukan efisiensi dari sisi produksi.
"Jadi tergantung demand dan supply. Kalau demand-nya tinggi bisa mungkin naik 2-3 persen, tapi dalam kondisi seperti sekarang naik 1 persen saja sudah sulit diterima pasar," katanya.
Pelamahan pasar, lanjut Ali, sebenarnya sudah terasa sejak 2014. Ketika itu, pasar elektronik nasional tumbuh tak sampai 5 persen atau lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya.
"Untuk tahun ini, dengan ketidakpastian yang sangat tinggi, sulit bagi kami memprediksi. Terlih lagi banyak gejolak politik sehingga belum kelihatan arah kebijakan ekonomi pemerintah," ucapnya.
Sedikitnya, saat ini terdaftar 38 perusahaan yang tergabung dalam Gabel. Kebanyakan dari mereka merupakan pemodal asing yang telah lama berbisnis di Indonesia.
Investasi dan HilirisasiAli Soebroto menambahkan industri elektronik nasional kesulitan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor komponen. Pasalnya, tidak banyak pelu industri di dalam negeri yang bisa memenuhi kebutuhan bahan baku komponen elektronik.
Guna meningkatkan kandungan lokal, Ali mengatakan program hilirisasi industri harus segera direalisasikan dan jangan hanya diwacanakan. Untuk itu tak bisa hanya dengan cara yang biasa, tetapi perlu langkah terobosan dengan mengundang investor untuk menggarapnya.
"Karena implementasi tidak mudah menuju itu. Untuk bermain di downstream, harus punya skala ekonomi yang cukup besar. Langkah yang paling cepat adalah mengundang investor yang punya orientasi ekspor untuk masuk," tuturnya.
Apabila mengikuti program pemerintah, kata Ali, hilirisasi industri kemungkinan baru akan terwujud lima hingga 10 tahun ke depan. Sementara jika dipercayakan kepada pelaku industri, prosesnya bisa dipangkas menjadi hanya dua tahun.
"Tapi perlu banyak pembenahan, perlu insentif buat mereka atau bahkan subsidi," jelasnya.
Presiden Direktur PT. Panggung Electric Citrabuana (Akari) ini menuturkan dengan berkembangnya industri hilir, maka diharapkan ekonomi nasional bisa bertumbpu kembali pada ekspor. Upaya ini penting untuk meningkatkan devisa nasional dan menghapus defisit neraca perdagangan Indonesia.
"Yang paling berbahaya adalah devisa yang berkurang karena komoditas kita terus menurun. konsumsi tambah besar, impor tinggi, otomotis butuh devisa yang harus lebih besar," tuturnya.