Rupiah Anjlok, Industri Rokok Diyakini Tak Akan Rontok

CNN Indonesia
Jumat, 20 Mar 2015 18:46 WIB
Mayoritas industri di Tanah Air rentan terdampak gejolak kurs, kecuali industri rokok yang tak terlalu bergantung pada bahan baku impor.
Jumlah prokok di Tanah Air saat ini sekitar 70 juta orang, relatif tidak berubah setiap tahunnya.(Valeriya/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memukul banyak sektor industri di Tanah Air. Kecuali industri rokok, yang menurut Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) punya pengalaman hebat ketika bertahan dari gejolak krisis keuangan.

"Seperti ketika krisis-krisis sebelumnya, industri kretek tetap bertahan karena dari hulu ke hilir hampir semua bahan bakunya dari dalam negeri," ujar  Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni kepada CNN Indonesia di Jakarta, Jumat (20/3).

Kendati demikian, lanjut Hasan, dampak lanjutan depresiasi rupiah terhadap kondisi makroekonomi dapat berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat terhadap produk hasil tembakau. Misalnya ketika inflasi naik atau pertumbuhan ekonomi melambat, akan terjadi pengalihan konsumsi ke barang-rang kebutuhan pokok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi pemerintah harus memperhatikan aspek psikologi dan daya beli masyarakat ketika mengeluarkan kebijakan," tuturnya.

Pernyataan Hasan tersebut merujuk pada rencana pemerintah mengubah besaran tarif pajak pertambahan nilai (PPN) rokok dari 8,4 persen menjadi 10 persen, menyusul kenaikkan cukai sebesar 8,72 persen di awal tahun ini.

Menurutnya, kebijakan cukai atau pajak atas rokok merupakan faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan industri hasil tembakau dalam lima tahun terakhir. Industri padat karya ini mengalami kemunduran sejak roadmap industri hasil tembakau intensif diberlakukan pada 2009 melalui kebijakan kenaikan cukai bertahap hampir setiap tahun.

"Pada 2009 ada 4.900 industri rokok dan lima tahun kemudian tinggal 800 pabrik. Kalau  satu pabrik mempekerjakan sekitar 25 orang, total sekitar 102,5 ribu orang kehilangan pekerjaan,"  tuturnya.

Dia berharap pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap industri rokok. Sebab, industri rokok memiliki struktur usaha yang unik dan berbasis kearifan lokal.

Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik dari Instritute for Policy Reform (IPR) Riant Nugroho mengatakan mayoritas industri di Tanah Air memiliki ketergantungan yang tinggi atas bahan baku impor sehingga rentan terpukul ketika rupiah terkoreksi. Hal itu terjadi karena pemerintah selama ini dinilai gagal membangun kultur industri yang kuat di berbagai sektor.

"Struktur industri kita rapuh dan tidak pernah dibangun oleh kabinet-kabinet yang lalu. Sebenarnya contoh yang bagus itu justru industri rokok. Dia unik dan itu yang seharusnya dibantu," katanya.

Seperti diketahui, dalam rangka meredam pelemahan rupiah, pemerintah mengeluarkan delapan kebijakan. Salah satunya adalah memberikan fasilitas keringanan pajak sebesar 30 persen bagi industri nasional yang melakukan ekspor.

Konsumsi Tetap

Abhisam D.M, Koordinator Nasional Komunitas Kretek, meyakini rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) produk hasil tembakau tak akan menurunkan permintaan rokok. Buktinya, lanjut Abhisam, jumlah perokok relatif stagnan di kisaran 70 juta orang kendati tarif cukai rokok naik rata-rata 8,72 persen per Januari 2014.

"Kebijakan pajak itu mungkin lebih berpengaruh ke pabrikan atau industri kecil menengah. Kalau kami tidak terlalu terpengaruh. Konsumen rokok saat ini sekitar 70 juta, jumlahnya relatif stagnan," tuturnya.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER