Jakarta, CNN Indonesia -- Produsen rokok asal Surabaya, PT Wismilak Inti Makmur Tbk. berharap pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, untuk mengkaji penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk hasil tembakau d
ari 8,4 persen menjadi 10 persen.
“Ya kami harap dikaji lebih dulu. Selama ini kan tiap tahun cukai rokok juga selalu naik. Kalau mendadak seperti ini, kami takut tidak bisa melakukan penyesuaian keuangan,” ujar Corporate Secretary Wismilak, Surjanto Yasaputera kepada
CNN Indonesia, Jumat (20/3).
Dia membeberkan, rencana pemerintah tersebut dikhawatirkan bakal membuat perseroan harus menaikkan harga jual. Jika hal itu terjadi, lanjut Surjanto, maka bakal berpengaruh terhadap daya beli masyarakat nantinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Selama ini kami sudah menaikkan harga jual setiap adanya penaikan cukai. Bisa 6 sampai 10 kali dalam setahun. Kalau rencana penaikan pajak terjadi, kami khawatir daya beli menurun. Kalau bisa ditunda dulu penaikan itu, jangan di pertengahan tahun,” jelasnya.
Surjanto menyatakan, pada 2014 pihaknya sudah cukup puas dengan kinerja dan situasi yang ada. Meski industri di sektor lain mengalami banyak kendala hingga perlambatan, manajemen Wismilak memprediksi pihaknya malah bisa tumbuh positif di atas prediksi.
“Kami perkirakan bisa di atas prediksi. Alasannya, penaikan upah minimum regional (UMR) mendorong daya beli masyarakat, meski beban penghasilan kami juga naik,” jelasnya.
Padahal, sepanjang sembilan bulan pertama 2014, Wismilak mengalami penurunan laba bersih sebesar 27,77 persen menjadi Rp 80 miliar, dari capaian periode yang sama 2013 senilai Rp 110,77 miliar. Hal itu bersumber dari penjualan bersih yang turun menjadi Rp 1,18 triliun dari Rp 1,19 triliun pada 2013.
Lebih lanjut, Surjanto menyatakan pihaknya menargetkan produksi rokok dari sebanyak 1,8 miliar total 2,5 miliar batang, baik dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) maupun Sigaret Kretek Mesin (SKM). Padahal, dalam rencana pemerintah, perusahaan dengan jumlah produksi di atas 2 miliar batang adalah golongan industri tertinggi yang bakal mendapat pengenaan cukai dan pajak lebih tinggi.
“Makanya itu, kami berharap rencana penaikan produksi hingga 2,5 miliar bisa berjalan mulus, tanpa hambatan,” jelasnya.
Rencana Pemerintah Bakal Gusur Industri KecilSementara itu, perusahaan sekuritas asal Korea, PT Daewoo Securities Indonesia menyatakan, secara global, konsumsi rokok meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti di Asia yang beralih dari pasar negara maju.
“Indonesia sebagai salah satu negara di pasar negara berkembang telah mengambil keuntungan dari tingkat peraturan yang lemah, populasi yang meningkat dan meningkatnya pendapatan. Ini adalah industri yang penting bagi Indonesia dikarenakan industri ini menggunakan tingkat SDM yang tinggi,” tulis analis Daewoo, Renaldy Effendy, dikutip pada Jumat (20/3).
Sebagai contoh, petani Indonesia mencari nafkah dengan menanam tembakau sementara hampir 7 juta orang bekerja di industri rokok secara langsung maupun tidak langsung. Sayangnya, industri ini sedang menghadapi kesulitan karena potensi pajak yang tinggi, yaitu 10 persen pajak rokok ditambah 8,7 persen pajak cukai berdasarkan anggaran 2015, dan regulasi yang ketat (membatasi semua tipe periklanan baik melalui TV ataupun media cetak).
“Masalah ini tentu saja memberikan sentimen untuk industri rokok, dilihat dari penurunan 9,7 persen dalam volume industri rokok,” katanya.
Renaldy menyatakan pihaknya percaya bahwa jika pemerintah memutuskan untuk menerapkan pajak cukai yang lebih tinggi, dampaknya akan lebih dirasakan oleh produsen kecil seperti rokok ilegal atau sekitar 7-8 persen dari total produksi negara.
“Sedangkan untuk pemain besar, kami mengharapkan mereka dapat menyalurkan tekanan biaya pajak kepada konsumen dikarenakan oleh posisi merk mereka yang sudah kuat di pasar,” jelasnya.
Mengenai masalah pajak, Daewoo menduga adanya kemungkinan bahwa pemerintah akan merevisi ulang waktu dan jumlah pajak yang akan ditambahkan oleh karena itu dapat berdampak pada volume penjualan yang pada akhirnya bisa membuat penerimaan pendapatan pajak pemerintah tidak mencapai target.