Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mempertimbangkan untuk memangkas anggaran belanja negara guna menjaga kesehatan fiskal di tengah risiko melesetnya target penerimaan negara.
Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan penerimaan negara meleset (shortfall) dari target yang ditetapkan di APBNP 2015. Untuk itu, dia mengatakan belum saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah alternatif untuk mengatasi kemungkinan shortfall tersebut.
"Ini masih awal sekali baru masuk bulan empat. Kami itu bisa ambil kebijakan anytime, bisa bulan lima, enam, tujuh. Pengalaman kita di bulan ke-12, dimungkinkan Menkeu ambil kebijakan, yang terbukti selama ini kita bisa kendalikan defisit APBN," ujar Askolani saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (6/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, lanjut Askolani, saat ini Kementerian Keuangan tengah meneliti segala kemungkinan jika penerimaan negara meleset dari target. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah menghemat anggaran untuk menekan belanja pemerintah sehingga mengurangi potensi pelebaran defisit APBN.
"Semua kemungkinan dilihat tapi Pak Menkeu pasti lihat semua kemungkinan, tidak mungkin ditutup," ujarnya.
Pernyataan Askolani itu merupakan respon atas hasil kajian Tim Riset DBS Bank yang melihat ada potensi shortfall sekitar Rp 170 triliun atau 1,5 persen PDB pada akhir 2015.
Dalam risetnya, DBS juga menyatakan risiko shortfall dapat berimplikasi pad amembengkaknya defisit fiskal, dari target 1,9 persen PDB di APBNP 2015 menjadi 3,5 -4,4 persen PDB.
Dengan sumsi batas maksimal defisit yang diperbolehkan 3 persen PDB, DBS menilai upaya yang realistis dilakukan pemerintah adalah hanya dengan memotong belanja negara guna menambal selisih kurang atau defisit.
Dalam APBNP 2015, target penerimaan negara di patok sebesar Rp 1.761,6 triliun, sedangkan pagu belanja dianggarkan Rp 1.984,1 triliun. Dengan demikian selisih kurang atau defisit fiskal yang disepakati sebesar Rp 222,5 triliun atau 1,9 persen PDB.
(ags)