Utilisasi Produksi Tak Maksimal Dikeluhkan Industri Pipa Baja

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 09 Apr 2015 16:19 WIB
Tingginya biaya produksi membuat harga pipa baja dalam negeri lebih mahal dibandingkan produk luar negeri.
Presdir PT Pertamina Gas (Pertagas), Hendra Jaya (dua kiri) melakukan Field Joint Coating saat digelar Ground Breaking Ceremony, Pipa Gas Pertamina Porong - Grati, di Desa Plinggisan, Kraton, Pasuruan, Jatim. (ANTARA FOTO/Adhitya Hendra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengusaha industri pipa baja menilai bahwa kondisi pasar domestik tidak menguntungkan. Kemampuan utilisasi produksi industri baja yang seharusnya bisa maksimal, terhambat oleh beberapa kondisi baik internal maupun eksternal.

Seperti diutarakan oleh Presiden Direktur Bakrie Pipe Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, tingginya beban produksi dan minimnya serapan produksi di dalam negeri membuat utilisasi produksi tidak mencapai angka yang semestinya.

"Bisa dibilang permintaan akan pipa baja dalam negeri mencapai angka 1,5 juta ton setiap tahunnya. Namun sayangnya industri dalam negeri kita baru bisa memenuhi 900 ribu atau 60 persen dari kebutuhan pasar dalam negeri," ujar Wigrantoro ketika ditemui di Kementerian Perindustrian, Kamis (9/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan, pemenuhan sisa kebutuhan pipa baja sebesar 600 ribu ton per tahun harus ditutupi dari pasokan impor. Ia sangat menyayangkan hal tersebut mengingat utilisasi kapasitas pabrik pipa baja Indonesia masih berada di kisaran 60 hingga 70 persen, atau belum mencapai titik maksimalnya.

"Kami sangat ingin bisa mencapai utilisasi yang maksimal, namun sayangnya terhambat oleh beberapa kendala. Contohnya adalah interest rate yang tinggi, pajak, beban logistik tinggi, hingga tarif listrik yang bisa meningkatkan beban perusahaan hingga 20 persen, dimana hal tersebut mengakibatkan kita tak bisa berproduksi secara maksimal, sementara nilai pipa baja impor semakin relatif lebih murah," tuturnya.

Akibat hal ini, perusahaan pengguna pipa baja enggan menyerap produk pipa domestik sehingga produksi tak dijalankan dengan kapasitas penuh. Maka dari itu, ia menyarankan agar Kementerian Perindustrian benar-benar mengimplementasikan penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 40 persen, termasuk bagi pengguna produksi pipa baja.

"Selisih harga impor dengan harga pipa domestik bisa mencapai 25 persen. Padahal kalau komponen eksternal yang bisa membebani biaya produksi 20 persen, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, bisa dihilangkan, kapasitas pipa baja kita bisa setara dengan Korea Selatan," ujar Wigrantoro.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto melihat bahwa hambatan dalam implementasi TKDN sebesar 40 persen berada pada pengguna produk pipa baja itu sendiri. Dengan harga pipa baja domestik yang lebih mahal, industri pengguna tentunya akan lebih memilih pipa baja impor dengan konsiderasi efisiensi biaya produksi.

"Hambatan pengenaan TKDN 40 persen ini ada di project owner-nya. Seperti contohnya proyek infrasturktur pipa gas milik Pertagas Semarang - Gresik yang menggunakan pipa asal Korea Selatan. Bukan karena mereka tidak ingin pakai pipa domestik, namun dengan harga pipa baja domestik senilai US$ 1.110 per ton, kita tak bisa bersaing dengan harga pipa baja Korea Selatan sebesar US$ 985 per ton," ujar Harjanto.

Kementerian Perindustrian sendiri tetap menyarankan dan akan terus menggalakkan penggunaan TKDN sebesar 40 persen. Sebagai upaya mencapai hal tersebut, Kementerian Perindustrian akan mengusahakan pengenaan subsidi di industri hulu baja agar harga di industri hilir baja dalam negeri bisa menjadi lebih murah.

"Untuk meningkatkan daya saing, memang industri hulu baja perlu kita subsidi. Sedangkan di industri hilir baja, seperti pipa baja, perlu diproteksi agar tak kalah dengan produk impor," tutur Harjanto. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER