Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir setengah populasi dunia orang dewasa, atau sekitar 2,5 miliar jiwa, mengalami kurangnya akses untuk menikmati layanan keuangan secara formal. Saat ini, lembaga jasa keuangan yang ada terkesan ekslusif dan tidak menyentuh masyarakat kalangan bawah.
Keterbatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat masyarakat tertinggal jauh dari sistem keuangan modern yang mampu membatasi pertumbuhan ekonomi pribadi dan pemberdayaan, dan akhirnya mampu menghalangi kemakmuran ekonomi dalam skala yang lebih besar, khususnya di Indonesia.
Matthew Driver, Presiden South East Asia for MasterCard Worldwide mengatakan teknologi memiliki peranan yang penting dalam memperkenalkan produk keuangan kepada masyarakat daerah terutama yang berada di daerah terpencil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satu hal penting adalah bagaimana memanfaatkan perkembangan baru dalam teknologi dan telepon yang memiliki akses, baik itu ponsel standar atau ponsel pintar lebih berteknologi canggih," ujar Matthew saat berbincang dengan CNN Indonesia di Jakarta Minggu (19/4).
Matthew mengatakan dengan meningkatkan layanan keuangan berbasis teknologi dan tanpa kantor (
branchless banking), hal ini akan menghemat waktu para nasabah yang ingin menaruh uangnya di bank. Bagi perbankan sendiri hal ini akan menghemat biaya operasional, dikarenakan bank tidak perlu lagi membangun kantor secara fisik di daerah.
"Namun sebagian besar di Indonesia masih menggunakan pembayaran secara tunai. Bukan hanya mahal untuk, tapi hal ini sangat rentan terhadap kebocoran dan ada potensi kerugian melalui pencurian atau korupsi," katanya.
Ia mencontohkan perkembangan layanan transaksi keuangan yang terjadi di Afrika Selatan. Negara yang dahulunya miskin infrastruktur keuangan, kini sudah memiliki tingkat akses keuangan yang baik. Biasanya penduduk Afrika Selatan menerima dana bantuan sosial dari pemerintah secara cash, namun setelah kampanye inklusi finansial digalakan, kini penduduk Afrika Selatan menerimanya dalam bentuk transfer langsung ke rekening pribadi.
"Akhirnya, kini pemerintah Afsel bisa menghemat biaya administrasi, penipuan dan potensi kebocoran yang diperkirakan hampir US $ 375 miliar selama lima tahun," katanya.
Ia juga menekankan perlunya peran penting pemerintah dalam memfasilitasi inklusi keuangan. Ia pun mengapresiasi langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) yang gencar mengampanyekan program inklusi keuangan melalui branchless banking. Menurutnya, apabila layanan keuangan bisa terakses secara merata maka distribusi kesejahteraan pun ikut merata.
"Kami optimis, Indonesia adalah target pasar yang potensial. Kami percaya bahwa orang-orang, terlepas dari keadaan pribadi mereka sendiri, harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam ekonomi global," katanya.
Mempromosikan inklusi keuangan global merupakan topik agenda utama di Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum on South East Asian yang digelar di Hotel Shangri La Jakarta, 20-21 April 2015.
(gen)