Mantan Kepala BKF Sarankan Jokowi Revisi Target Pajak

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Senin, 27 Apr 2015 19:08 WIB
Upaya menggenjot penerimaan pajak dinilai terlalu ambisius karena dilakukan saat dunia usaha sedang terpukul akibat krisis harga minyak dan ekonomi melambat.
Head Economist Bank Rakyat Indonesia Anggito Abimanyu, Jakarta, Senin (27/4). (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yang juga Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Anggito Abimanyu memprediksi penerimaan pajak tahun ini akan terjadi shortfall sebesar Rp 220 triliun jika pemerintah tidak kunjung memperbaiki usaha penerimaan pajak.

Anggito yang menjadi tangan kanan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu menyarankan pemerintahan Joko Widodo untuk merevisi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 secepatnya jika tidak menginginkan penerimaan pajak meleset dari target.

"Selama 10 tahun di Kementerian Keuangan, rasanya target ini terlalu ambisius. Saat ini yang dibutuhkan seharusnya adalah relaksasi perpajakan," kata Anggito kepada wartawan di Gedung BRI, Jakarta, Senin (27/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Anggito, upaya pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak dinilai terlalu ambisius karena dilakukan saat dunia usaha sedang terpukul akibat krisis harga minyak dan perekonomian mengalami pelambatan.

“Ini suatu anomali," ujar Anggito.

Dia menilai target pajak di APBNP 2015 sebesar Rp 1.295,6 triliun telah menimbulkan kepanikan bagi para pelaku pasar. "Apabila pemerintah merevisi pos pajak dalam APBNP 2015 menjadi lebih rasional maka respons para pelaku pasar akan dingin. Sehingga mereka tidak perlu bersaing dengan pemerintah dalam menerbitkan surat utang," katanya.

Selain mengusulkan revisi target pajak, Anggito juga menilai anggaran belanja dua kementerian teknis yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) dan Kementerian Perhubungan yang mendapat mandat anggaran belanja infrastruktur yang besar.

"Harus lebih cepat lebih baik, sebelum kedua kementerian tersebut melakukan lelang tender proyek. Kalau sudah menjalankan proyek, proyeknya diputus ditengah jalan akan repot," katanya.

Anggito menceritakan pengalamannya ketika dirinya menjadi bagian dari bendahara negara merumuskan APBN. Dalam merevisi APBNP, Pemerintah tidak perlu meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, peluang untuk merevisi APBNP itu bisa dilakukan setiap waktu. Di dalam pembahasan APBNP, DPR tidak punya hak untuk mengajukan usulan. Target penerimaan pajak terlalu tinggi. Itu saja yang direvisi, yang lain tidak usah, subsidi tidak usah," ujarnya.

Ia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2015 diperkirakan akan melambat hanya di level 4,9-5 persen. Secara umum, ia menilai kondisi ekonomi makro cukup baik, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sesuai dengan kondisi fundamentalnya namun perkembangan ekonomi sektor riil masih tertekan.

Ditengah tekanan ekonomi itu, namun ia tidak menyangka pemerintahan presiden Joko Widodo berani memasang target 40 persen lebih tinggi dari realisasi penerimaan.

"Tidak pernah ada satu tahun penerimaan pajak di atas 5 persen PDB. Sekarang penerimaan pajak itu minimal 30 persen. Pelaku bisnis waspada dengan upaya penerimaan pajak yang berlebihan," katanya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER