Jakarta, CNN Indonesia -- Senin, 4 Mei 1998, Presiden Soeharto mengikuti saran Internatinal Monetery Fund (IMF) untuk memangkas subsidi energi. Opsi yang diambil saat itu adalah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter. Kebijakan tersebut menyulut aksi penolakan mahasiswa di sejumlah wilayah.
Selasa, 12 Mei 1998, konsentrasi mahasiswa memanas di depan Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Bentrokan dengan aparat tak terhindarkan. Empat mahasiswa Universitas Trisakti meregang nyawa setelah tertembus timah panas.
Dalam hitungan jam, Tragedi Trisakti menyulut kerusuhan dan pembakaran di sejumlah kota besar. Mendengar kekacauan di Negerinya, Presiden Soeharto yang tengah menghadiri pertemuan KTT G-15 di Kairo, Mesir memutuskan pulang ke Ibu Kota pada Rabu, 13 Mei 1998.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama di penerbangan, paras Presiden RI kedua itu terlihat muram. Wajah Jenderal bintang lima ini semakin dingin tatkala melihat dari jendela pesawat asap hitam mengepul di langit Jakarta.
Kuntoro Mangkusubroto, yang kala itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) menceritakan kisah itu kepada CNN Indonesia, Kamis (21/5).
Untuk meredam kerusuhan, Soeharto di detik-detik akhir kepemimpinannya mengambil kebijakan strategis di sektor energi. Dia memerintahkan Kuntoro merilis penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sempat dinaikkanya pada 4 Mei 1998 ke angka Rp 600 per liter.
“Tapi tidak berhasil. Kerusuhan sudah meluas dan sulit dikendalikan meski harga bensin diturunkan,” ujarnya.
Selaku penanggungjawab kebijakan energi, Kuntoro tak mau disalahkan dengan naiknya harga BBM pada saat itu. Menurutnya. penaikan harga BBM kala itu berlangsung secara cepat tanpa melalui rapat internal di sidang kabinet. Parahnya, penaikan harga BBM dilakukan tanpa formula dan kalkulasi yang jelas. Padahal, banyak Menteri bidang ekonomi, termasuk dirinya, kurang sepaham dengan kebijakan ini.
“Jujur saya dan beberapa teman Menteri di sektor ekonomi tidak tahu alasannya. Tapi yang pasti penaikan harga BBM saat itu bukan menggunakan formula yang umum dipakai oleh Kementerian saya,” ucap Kuntoro.
Alih-alih meredam aksi massa melalui kebijakan penurunan harga BBM, Soeharto justru terdesak dan memilih mengakhiri kekuasaannya tepat pukul 09.00 WIB pada 21 Mei 1998.
Kuntoro merupakan satu dari 14 menteri yang mundur dari Kabinet Pembangunan VII, sehari jelang kejatuhan Soeharto.
“Masyarakat sudah terlanjur emosi. Dan benar saja, penurunan harga BBM tak bisa membendung kerusuhan. Malah pemerintah terlihat semakin panik dan puncaknya ya itu, peristiwa semanggi hingga jatuhnya Pak Harto,” jelasnya.
(ags)