Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan Joko Widodo dinilai belum memiliki komitmen yang tinggi di dalam mengatasi carut-marut persoalan energi. Hal ini tercermin dari kebijakan pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak sejalan dengan kenaikan impor minyak dan pengembangan energi terbarukan.
"Pemerintah memang telah melakukan serangkaian kebijakan mulai dari menyusun RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), RKP (Rencana Kerja Pemerintah) di sektor energi hingga mencabut subsidi BBM. Namun saya lihat kebijakan-kebijakan tadi tidak serta merta menjawab semua permasalahan energi," ujar Maxensius Trio Sambodo, peneliti ekonomi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) di kantornya, Jumat (5/6).
Maxensius mengatakan, salah satu kebijakan strategis pemerintah di sektor energi yang belum berjalan optimal antara lain penggunaan dana hasil pemangkasan subsidi BBM. Kendati dampaknya positif terhadap pelebaran ruang fiskal, tetapi kenyataannya pemanfaatannya belum dirasakan langsung oleh masyarakat tidak mampu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita jangan pernah anggap sepele masalah ini. Meski akan meningkatkan sektor infrastruktur dan lainnya, tapi semuanya perlu ditata dengan baik. Jadi jangan biarkan manfaat pencabutan subsidi yang seharusnya dirasakan orang tidak mampu malah diberikan untuk masyarakat mampu," tuturnya.
Selain alokasi dana subsidi, Maxensius juga menyoroti volume impor BBM yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurutnya, dengan komposisi impor BBM mencapai 45 persen dari total kebutuhan energi dalam negeri, Indonesia seharusnya memiliki strategi yang jitu untuk menyiasati hal tersebut.
"Ketika sumber migas turun, harusnya pemerintah cepat bergerak untuk mengoptimalkan sumber daya energi yang lain contohnya energi terbarukan. Belum lagi berpikir rasio elektrifikasi listrik yang sampai saat ini masih menjadi perhatian bersama untuk meningkatkan ekonomi," tuturnya.
Sebagai informasi, hingga 2025 pemerintah menargetkan komposisi bauran energi yang berasal dari minyak bumi menjadi sekitar 20 persen, sedangkan gas berkisar 22 persen. Smentara untuk batubara diharapkan menjadi 30 persen dan energi terbarukan mencapai 23 persen.
Berangkat dari target tersebut, Maxensius menghimbau pemerintah konsisten dalam menjalankan kebijakan energi yang sudah dirancang. Hal ini penting guna meningkatkan peran sektor energi terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menyumbang penerimaan negara.
"Bagaimana pun juga sektor energi energi Indonesia memiliki peran sangat penting bagi pemasukan negara melalui pajak hingga menumbuhkan kondisi ekonomi," tandasnya.
(ags/ded)