Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah memberikan waktu hingga 30 Juli 2015 bagi maskapai penerbangan berjadwal yang belum memenuhi kepemilikan dan penguasaan minimal pesawat yang diwajibkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Selama proses pemenuhan ketentuan itu, mulai 30 Juni 2015 izin usaha angkutan udara niaga maskapai yang bersangkutan dibekukan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan mengancam jika hingga waktu yang sudah ditentukan, maskapai yang dimaksud belum juga memenuhi persyaratan kepemilikan pesawat maka otomatis izin angkutan udaranya dicabut.
“Tidak bisa diundur-undur lagi. Undang-undangnya saja sudah terbit 2009. Kenapa implementasinya baru enam tahun kemudian,” kata Jonan dikutip dari laman Kemenhub, Kamis (2/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan kepemilikan pesawat sendiri tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 97 tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kepemilikan dan Penguasaan Pesawat Udara. Beleid tersebut diteken Jonan pada 3 Juni 2015 dan diundangkan satu hari kemudian yakni pada 4 Juni 2015.
PM 97 Tahun 2015 menyatakan maskapai berjadwal wajib memiliki paling sedikit lima pesawat dan menguasai minimal lima pesawat dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai rute yang dilayani.
Tak Perlu Beli TunaiMantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) itu mengatakan ada beberapa cara bagi maskapai komersial untuk memenuhi persyaratan kepemilikan pesawat selain membeli tunai. Salah satunya adalah dengan
financial lease. Akan tetapi, untuk skema pembayaran seperti itu, regulator menuntut adanya keterangan legal dari notaris atau konsultan hukum.
“Pernyataan dari konsultan hukum itu perlu, yakni bahwa ini (pesawat) akan dimiliki oleh maskapai. Cara seperti ini sama dengan membeli motor dengan diangsur,” ujarnya.
Selain dengan skema tersebut, dalam PM 97 Tahun 2015 disebutkan kepemilikan pesawat udara bisa ditempuh melalui sewa-menyewa pesawat dengan hak opsi untuk membeli. Itu dibuktikan dengan jaminan dari pemilik bahwa penyewa wajib memiliki pesawat tersebut pada masa akhir sewa yang disahkan dengan notaris.
Maskapai juga bisa mendapatkan hibah atau hadiah pesawat yang dibuktikan dengan dokumen yang sah. Atau, maskapai bisa memiliki pesawat atas dasar keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuasaan hukum tetap.
Sebelumnya PT Sriwijaya Air berupaya melindungi anak usahanya PT National Aviation Management (NAM) Air dari sanksi larangan terbang karena belum bisa memenuhi ketentuan kepemilikan pesawat.
Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air menjelaskan sebelum kesepakatan hibah pesawat dibuat, NAM Air yang belum lama beroperasi sejak Desember 2013 lalu baru memiliki dua unit Boeing 737-500.
Namun saat peluncuran NAM Air, CEO dan Presiden Direktur Sriwijaya Air Group Chandra Lie telah membuat Memorandum of Understanding (MOU) pembelian 100 unit pesawat R-80, buatan PT Ragio Aviasi Industri (RAI), suatu perusahaan swasta nasional yang mendapuk B.J. Habibie sebagai komisaris.
“Di tengah proses perjanjian dan pengadaan pesawat tersebut ada ketentuan pemerintah yang harus dipenuhi. Oleh karena itu NAM Air harus melakukan upaya strategis untuk melengkapi persyaratan UU tersebut sehingga menggandeng Sriwijaya Air melengkapi 10 unit pesawat yang dioperasikannya dengan pesawat tipe Boeing 737-500,” ujar Agus beberapa waktu lalu.
Hibah pesawat Sriwijaya kepada anak usahanya secara otomatis akan mengurangi jumlah pesawat yang dioperasikan perseroan dari sebelumnya sebanyak 37 pesawat yang terdiri dari 737-800 NG, 737-400, 737-300 dan 737-500. Namun, Agus memastikan hal tersebut tidak membuat Sriwijaya melanggar ketentuan kepemilikan pesawat.
(gen)