Jakarta, CNN Indonesia -- Rendahnya harga minyak dunia sepanjang semester I 2015 telah menekan realisasi penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas).
Dalam paparannya di hadapan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu kemarin (1/7), Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mencatat rata-rata harga minyak mentah Indonesia yang dijadikan acuan pemerintah dalam menyusun target penerimaan dan belanja negara dalam APBN mengalami penurunan yang signifikan.
“Ada perbedaan cukup tajam di harga minyak, tahun lalu harganya jauh lebih tinggi dibanding tahun ini," ujar Bambang dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Rabu (7/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepanjang 2014 lalu, rata-rata Indonesia Crude Price (ICP) masih bertengger di angka US$ 96,5 per barel. Sementara, rata-rata ICP Januari-Mei 2015 hanya menyundul angka US$ 54,5 per barel, alias terjadi penurunan sebesar 43,52 persen.
Ada perbedaan cukup tajam di harga minyak, tahun lalu harganya jauh lebih tinggi dibanding tahun iniBambang Brodjonegoro |
Kondisi itu disebut Bambang menyebabkan kurang bergairahnya sektor hulu migas nasional dalam menggenjot lifting. Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang dipercaya pemerintah bisa mengangkat sekaligus menjual minyak sebanyak 825 ribu barel per hari (bph), nyatanya diperkirakan hanya mampu membukukan lifting 750,6 ribu bph.
Demikian halnya dengan realisasi produksi rata-rata gas siap jual Indonesia dalam semester I 2015 tercatat hanya mencapai 1.160 ribu barel setara minyak per hari (boepd), sementara APBNP menitahkan KKKS untuk mampu menghasilkan lifting gas 1.221 boepd.
Kondisi tersebut dipastikan berimbas langsung kepada realisasi APBNP 2015. Pasalnya dalam asumsi makro catatan keluar masuknya duit negara tersebut, pemerintah telah mematok angka ICP sebesar US$ 60 per barel.
Bambang memperkirakan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) migas hanya akan menyentuh angka Rp 27 triliun sampai akhir Juni 2015, turun 39,32 persen dibandingkan realisasi semester I tahun lalu.
Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas juga diperkirakan turun signifikan selama enam bulan terakhir. Menteri Bambang memprediksi realisasinya pada akhir Juni hanya sebesar Rp 43 triliun atau anjlok leboh dari 50 persen dari realisasi semester I 2014 yang mencapai Rp 87,2 triliun.
Menurut Menkeu, anjloknya harga minyak menjadi penyebab utama merosotnya penerimaan dari sektor migas. Akibat fenomena global ini, Bambang memperkirakan potensi penerimaan negara yang hilang (potential loss) akibat kejatuhan harga minyak mencapai Rp 150 triliun.
Faktor PenyelamatBeruntung pemerintah masih memiliki pos penerimaan dari PNBP sumber daya alam (SDA) non migas, yang masih sedikit tumbuh dari realisasi tahun lalu meski sempat ada pelarangan ekspor raw material.
PNBP SDA non migas kemungkinan besar terealisasi Rp 14,8 triliun, tumbuh 11,2 persen dari pencapaian semester I 2014 yang sebesar Rp 11,27 persen. Namun produktivitasnya jauh menurun dibandingkan tahun lalu (45 persen dari target), di mana proyeksi terkini hanya 39,3 persen dari target Rp 37,6 triliun.
Sementara untuk dividen BUMN diprediksi sebesar Rp 31,5 triliun atau meningkat hampir 5 persen dari tahun lalu. Sedangkan pendapatan dari Badan Layanan Umum (BLU) seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan diharapkan masuk Rp 12,8 triliun, naik 43,8 persen.
(gen)