Jakarta, CNN Indonesia -- Kalangan pengusaha pesimistis target ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang dipatok 21 juta ton pada tahun ini dapat tercapai. Ketidakyakinan itu berangkat dari keruwetan mekanisme ekspor komoditas tersebut menyusul pungutan berganda dana pengembangan sawit (CPO Supporting Fund) dan bea keluar (BK).
"Ini karena beberapa lembaga dan instansi terkait masih menerapkan aturan lama yang pada dasarnya menghambat kegiatan ekspor. Kami tidak yakin (capai target) meski target tahun ini tak jauh berbeda ketimbang tahun lalu yang berada di angka 20,8 juta ton," kata Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga di kantornya, Kamis (23/7).
Sahat mengungkapkan, meski Menteri Keuangan telah menerbitkan aturan pelaksana pengenaan BK untuk beberapa komoditas seperti Bungkil Sawit dan RBD Olein, tetapi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) masih menerapkan aturan lama di beberapa pelabuhan besar di Sumatera dan Kalimantan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, lanjut Sahat, lambannya upaya pemerintah melakukan sosialisasi aturan baru terkait CPO Supporting Fund dan B menjadi salah satu penghambat ekspor.
"Sampai sekarang Kami juga masih meraba-rana aturan yang ada," tutur Sahat.
Sebagaimana informasi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 133/PMK.05/2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Pengelola Daba Perkebunan Kelapa Sawit. Akan tetapi, meski telah dirilis pada 14 Juli lalu nyatanya baru siang tadi jajaran Kemenkeu melakukan sosialisasi.
Sementara untuk penerapan BK, pemerintah juga mengklaim telah menerbitkan PMK dengan nomor 136 Tahun 2015 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Namun, Sahat mengaku sampai saat ini pemerintah belum juga merilis dan menyosialisasikan beleid tersebut.
"Kalau begini, selain Bea Cukai para pelaku usaha juga bingung untuk mekanisme ekspor. Kalau sampai ekspor (CPO dan produk turunnya) turun yang menikmati malah Malaysia lho," tandas Sahat.