Target Ekspor Naik 300 Persen, Jokowi Disebut Obral Janji

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Selasa, 04 Agu 2015 12:55 WIB
Pencanangan target ekspor naik 300 persen disebut tidak akuntabel dan tidak menggunakan proyeksi yang terukur.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memegang komoditas yang diekspor Sulsel ke-24 negara, di Pelabuhan Soekarno Hatta, Makasar, Sulsel, Senin (3/8). (Dok. Sekretariat Kabinet)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menaikkan target ekspor non migas sebesar 300 persen sampai 2019 disebut hanya meneruskan obral janji kampanye pemilihan presiden tahun lalu.

Bahkan ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, menyebut target tersebut sebagai mimpi di siang bolong. Pasalnya, pencanangan target yang dicetuskan pertamakali oleh Menteri Perdagangan Rahmat Gobel disebutnya tidak akuntabel dan kredibel, serta tidak berdasarkan proyeksi atau prediksi yang terukur.

“Target menaikkan nilai ekspor tiga kali lipat berarti ekspor dalam lima tahun naik sebesar 200 persen. Tahun lalu ekspor mencapai US$ 176,3 miliar, jadi pada 2019 harus mencapai US$ 528,9 miliar,” ujar Faisal dikutip dari blog pribadinya, Selasa (4/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu mencatat, realisasi ekspor tahun lalu terdiri dari ekspor non migas sebesar US$ 146 miliar dan ekspor migas US$ 30,3 miliar.

Dengan mematok target ekspor bertambah 200 persen sampai 2019, maka pemerintah harus mampu memastikan setiap tahun ekspor total harus naik 24,6 persen rata-rata dalam setahun.

Faisal berpendapat dengan kondisi harga minyak yang rendah dan kontraktor kontrak kerjasama menurunkan investasinya di sektor hulu migas, maka dipastikan ekspor hasil bumi itu tidak akan naik.

“Kalau angka ekspor migas hanya mandeg sama seperti 2014, maka ekspor non migas lebih digenjot dan harus naik 28 persen rata-rata setahun. Padahal data terbaru, ekspor sampai Mei justru melorot lebih dalam. Pertumbuhannya minus 11,9 persen,” kata Faisal.

Mantan Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu membenarkan perkembangan ekspor Indonesia selama 2008 sampai 2013 tergolong lumayan bagus dibandingkan dengan 30 besar negara-negara pengekspor lainnya. Sehingga peringkat Indonesia sempat naik dari posisi ke-31 pada 2008 menjadi ke-27 pada 2013. 

“Selama kurun waktu lima tahun itu ekspor Indonesia naik 24,5 persen, tetapi sangat jauh lebih rendah dari target kenaikan 2015 sampai 2019 sebesar 200 persen. Apalagi sampai saat ini kita masih mengandalkan ekspor komoditas primer yang harganya bergejolak,” ujar Faisal.

Oleh karena itu Faisal menilai Jokowi tidak bisa serta merta menaikkan target ekspor dengan signifikan. Apalagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 disebutkan target pertumbuhan ekspor non migas maksimal hanya 2 digit. Rinciannya sebesar 8,0 persen (2015), 9,9 persen (2016), 11,9 persen (2017), 13,7 persen (2018), dan 14,3 persen (2019).

“RPJM sudah diberlakukan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015. Apakah Presiden tidak sadar bahwa pencanangan itu bertetangan dengan Perpres yang ditandatanganinya sendiri? Kalau tiga kali lipat itu datang dari Kementerian Perdagangan, lantas apa gunanya buat RPJM?,” kata Faisal.

Manfaatkan Pelemahan Rupiah

Senin (3/8) lalu saat melepas ekspor Provinsi Sulawesi Selatan ke-24 negara, Jokowi meminta para pengusaha dan eksportir memanfaatkannya dengan membuka pasar ekspor baru.

Jokowi menyebut selama ini para pengusaha nasional hanya melihat Amerika Serikat, Eropa, China, Jepang, dan Korea Selatan sebagai negara tujuan ekspor.

“Beberapa negara di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah dan negara-negara lainnya memberikan peluang komoditas dan produk dari Indonesia. Justru itu yang harus dimasuki,” ungkap Jokowi.

Instruksi tersebut kemudian diterjemahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil dengan membentuk Tim Pengkaji Eskpor untuk melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor baru.

Sofyan yakin dengan menambah negara tujuan ekspor non-konvensional, akan menambah peluang Indonesia meningkatkan ekspor meskipun nominalnya masih terbatas. Oleh karena itu, tim pengkaji ini akan melakukan relasi supervisi ke berbagai negara tujuan baru tersebut.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia pada Januari-Juni 2015 mencapai US$ 78,29 miliar atau turun 11,86 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan juga terjadi di ekspor non-migas mencapai US$ 68,3 miliar atau lebih rendah 6,62 persen secara tahunan.

Selain itu, transaksi impor pada Januari-Juni 2015 mencapai US$ 73,94 miliar atau turun 17,81 persen secara tahunan. Untuk komulatif nilai impor yang terdiri dari non-migas mencapai US$ 13,1 miliar, turun 39,91 persen dan nonmigas US$ 60,84 miliar, atau turun 10,74 persen. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER