Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat aturan yang mendiversifikasi pembayaran transaksi luar negeri terutama dalam kegiatan impor. Digunakannya dolar Amerika Serikat (AS) sebagai mata uang tunggal kegiatan impor, disebut hanya membuat dolar terus menguat.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mencatat sepanjang tahun ini euro melemah sekitar 10 persen terhadap dolar, sementara dolar Australia melemah sekitar 11 hingga 12 persen, krona Swedia melemah sekitar 11 persen terhadap dolar. Sementara itu, selama periode Januari –Juli 2015 rupiah hanya melemah sekitar 8-8,5 persen terhadap dolar.
“Jadi rupiah itu menguat sebenarnya kalau dibandingkan dolar Australia dan menguat terhadap euro sekitar 1 persen 2 persen,” kata Mirza di Jakarta, akhir pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, apabila importir Indonesia membayar produk impor yang berasal dari Uni Eropa dengan euro maupun yang berasal dari Australia dengan dolar Australia, importir akan lebih untung.
“Jadi memang akan baik memang kalau ada diversifikasi cara pembayaran impor. Tidak hanya dibayar dengan dolar AS tapi juga bisa dibayar dengan dolar Australia, euro atau New Zealand dolar. Itu akan lebih baik sebenarnya bagi Indonesia dan bagi
emerging market lainnya,” kata Mirza.
Diungkapkan Mirza fenomena penguatan dolar AS terhadap mata uang negara-negara di dunia (
super dollar) terjadi karena ada sinyal Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/ The Fed) akan menaikan tingkat suku bunga acuannya di paruh kedua tahun ini. Mirza memperkirakan fenomena ini akan segera berakhir setelah The Fed mengumumkan tingkat suku bunganya.
“Menurut saya tinggal sebentar lagi penguatan dolar ini akan berakhir. Kalau memang bulan September naik suku bunga di Amerika, kemudian bulan Desember naik lagi suku bunganya, maka setelah itu mudah-mudahan situasi pasar keuangan akan lebih stabil,” tandasnya.
(gen)