Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah yang selama dua hari ini betah terkapar di level Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) tak membuat ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri gerah terhadap kebijakan yang diambil Pemerintah maupun Bank Indonesia (BI).
Menurut Faisal merosotnya nilai tukar dan pasar modal dialami semua negara berkembang tanpa kecuali, bahkan melanda negara yang ekonominya relatif lebih kuat seperti China.
Di tengah kondisi gejolak ekonomi dunia yang makin tidak pasti karena China tak mampu meredam kemerosotan ekonominya serta The Fed yang terus bermain dengan pernyataan akan menaikkan suku bunga, Faisal menilai sebaiknya pemerintahan Joko Widodo bekerja keras untuk melindungi rakyatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena dari sisi anggaran, menurut Faisal tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengelak dari kondisi ekonomi saat ini.
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang dalam tekanan. Penerimaan negara dari pajak dan minyak sangat tertekan, belanja harus dipangkas,” ujar Faisal dikutip dari risetnya, Selasa (25/8).
Di tengah kondisi anggaran yang terbatas, mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu menilai bantuan yang bisa diberikan pemerintah untuk masyarakat adalah dengan menjaga agar harga-harga barang yang selalu dikonsumsi rakyat tidak melambung tinggi.
“Inflasi perlu dijaga di level rendah, terutama harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya,” ujar Faisal.
Ia berpendapat, pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan momentum penurunan harga berbagai komoditas di pasar dunia untuk meredam inflasi.
“Memang ada efek negatif terhadap inflasi dari pelemahan rupiah. Namun, penurunan harga-harga komoditas di pasar dunia cukup banyak yang lebih tajam dari penurunan nilai tukar rupiah, sehingga efek nettonya positif terhadap inflasi,” katanya.
Harga BBM dan InvestasiUntuk menjaga inflasi agar daya beli masyarakat tidak terjun bebas, Faisal bahkan menyarankan perlunya pemerintah mengambil kebijakan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Harga BBM bersubsidi harus turun dan pemerintah harus mencermati penetapan harga BBM tak bersubsidi agar sesuai dengan aturan Menteri ESDM yang menetapkan margin maksimum 10 persen. Inilah bentuk stimulus nyata bagi rakyat banyak,” tegas Faisal.
Pemerintah menurutnya juga harus terus mempermudah masuknya investasi di sektor riil agar ekonomi Indonesia terus bergerak, tidak lagi mengandalkan belanja pemerintah yang masih jalan di tempat.
“Ada perusahaan minyak asing besar yang hendak investasi US$ 12 miliar tetapi sulitnya setengah mati. Ada perusahaan asing yang hendak menjual gas ke PT PLN (Persero) sudah lima bulan, namun
dicueki oleh Dirut PLN,” katanya.
Faisal juga mengingatkan agar pemerintah tidak membuat kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ia mencontohkan dalam hal impor daging sapi.
“Jangan sampai kuota impor yang dibuka hanya menguntungkan para pengusaha penggemukan sapi,” kata Faisal.
(gen)