Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak orang yang khawatir gejolak perekonomian saat ini sama dengan keadaan krisis yang pernah melanda Indonesia pada 1998 silam. Namun menurut Ketua Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono ada faktor besar yang mendasari perbedaan kondisi perekonomian Indonesia saat ini dengan kondisi 17 tahun silam.
"Saat itu (1998) terjadi krisis politik yang menyebabkan terjadinya perubahan rezim pemerintahan," ujar Tony saat dihubungi, Rabu (26/8).
Ia melanjutkan, ketika itu terjadi kegaduhan politik dimana massa mendesak Soeharto yang saat itu menjadi Presiden mundur dari jabatan yang telah didudukinya selama 32 tahun. Soeharto dinilai gagal mengelola utang negara dan menjaga stabilitas perekonomian di akhir masa kepimpinannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Tony, kegaduhan itu mempegaruhi pandangan investor khususnya asing terhadap perekonomian Indonesia ke depan. Akhirnya investor pun ramai-ramai mencabut dananya keluar dari pasar keuangan Indonesia sehingga membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi sangat parah hingga menyentuh Rp 17 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp 2.300 per dolar.
"Untuk menahan agar masyarakat tetap memegang rupiah, suku bunga deposito dinaikkan hingga 60-70 persen, akibatnya bank-bank menderita ‘bleeding’ negative spread, rugi besar, modalnya terkuras bahkan ada yang modalnya jadi negatif," ujar Tony.
Berbeda dengan kondisi masa lalu, Tony menjelaskan kondisi perbankan saat ini masih cukup kuat. Jika dilihat dari rasio kecukupan modal (
Capital Adequacy Ratio/CAR) yang mencapai 20 persen dan tingkat kredit bermasalahnya (
Non Performing Loans/NPL) masih di level 2,55 persen per Juni 2015.
"Kondisi perbankan sekarang jauh lebih kuat, baik secara kualitatif (
governance) maupun kuantitatif, terutama permodalan yang kuat yang ditunjukkan dengan CAR 20 persen," ujarnya.
Tony memperkirakan kondisi ini tidak akan berlangsung lama. Ia menduga bursa Amerika akan mengalami jenuh akibat derasnya aliran modal yang masuk secara bersamaan ke pasar keuangan negara Paman Sam itu.
"Pertama, saya menduga rally apresiasi dolar bisa jenuh. Indikasinya, indeks Dow Jones di New York anjlok ke 15.666 pada penutupan bursa Selasa kemarin. Ini saya interpretasikan bahwa AS sendiri lelah menerima inflows, sehingga pada titik tertentu mengalami koreksi berupa profit taking," ujarnya.
(gen)