Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom kawakan dan mantan menteri di beberapa bidang, Prof. Dr. Emil Salim mengkritik rencana pemerintah memaksakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Selain belum terlalu dibutuhkan, penggunaan dolar Amerika Serikat sebagai denominasi acuan pembiayaan dianggap Emil sebagai kesalahan yang seharusnya dihindari pemerintah.
“Karena yang dikhawatirkan adalah dolar AS outflow, maka jangan ada pembangunan yang justru memakan banyak dolar AS, seperti kereta api cepat itu. Separuh dari biaya proyek adalah dolar AS, sama saja. Maka sebaiknya semua pengeluaran yang menggunakan dolar harus disetop. Moratorium,” ujarnya usai seminar ekonomi di gedung Kementerian Keuangan, Senin (31/8).
Emil menilai belum ada urgensi yang menuntut pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung karena jarak tempuhnya dianggap terlalu pendek. Menurutnya, moda transportasi kereta cepat lebih diperlukan untuk jarak yang lebih jauh, seperti menghubungkan antarpulau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Nonsense. Kita sudah punya banyak transportasi di Jakarta-Bandung. Ini seperti pancingan saja. High speed railway itu menghendaki jarak yang panjang. Jakarta-Bandung itu hanya 180 kilometer. Selain itu dia memakan dolar AS di saat kita harus hemat dolar AS. Jadi ini tidak konsisten,” tuturnya.
Emil justru mempertanyakan janji pemerintahan Joko Widodo membangun sistem transportasi massal yang ideal. Menurutnya, pemerintah tidak perlu membangun transportasi yang sebenarnya belum begitu diperlukan, dan di sisi lain juga tumpang tindih.
“Kita kan sudah ada double track rail juga. Lalu sekarang malah ada kereta cepat. Sistem macam apa yang kita inginkan sebenarnya?” kata Emil.
Sebagai informasi, proyek kereta cepat yang tengah diperebutkan oleh kedua negara tersebut memiliki panjang sekitar 150 km dan memiliki waktu tempuh sebesar 36 menit. Baik China maupun Jepang rencananya akan mengambil titik-titik rute yang sama.
Proyek milik China memiliki nilai investasi US$ 5,5 miliar, di mana 25 persen merupakan modal bersama konsorsium BUMN lokal dan pihak China, sedangkan 75 persen sisanya merupakan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahunnya. Apabila menang tender, China berjanji akam memulai proyeknya pada September tahun ini dan selesai pada 2018 mendatang.
Sementara Jepang menawarkan nilai investasi sebesar US$ 6,2 miliar, di mana 75 persennya akan dibayar menggunakan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga pinjaman sebesar 0,1 persen. Proyek Jepang akan dimulai selama lima tahun, yaitu antara tahun 2015 hingga 2021.