Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) meyakini bank sentral Amerika Serikat (The Federeal Reserve) akan menunda kenaikan suku bunga acuannya menyusul kebijakan bank sentral China yang mendevaluasi yuan. Sementara di dalam negeri, BI memberi sinyal akan mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) tetap di level 7,5 persen dalam rapat dewan gubernur pekan depan.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung menuturkan langkah bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) mendevaluasi mata uang remimbi atau yuan berdampak serius terhadap penurunan harga barang dan jasa (deflasi) di Amerika Serikat (AS). Peristiwa ini diyakini Juda akan membuat The Fed berpikir ulang untuk mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.
"Ada sedikit risiko untuk mundur lagi karena memang,
unemployment membaik tapi kalau lihat proyeksi inflasi masih rendah. Bagaimana pun devaluasi yuan memberikan dampak penurunan harga. Di China kan besar, memberikan dampak deflasi ke berbagai negara termasuk Amerika karena Amerika banyak impor dari China," ujarnya di Jakarta, Jumat (11/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konstelasi di kedua negara ini, lanjut Juda Agung, membuat ketidakpastian di tingkat global semakin tinggi. Hal ini membuat BI berhati-hati dalam memainkan kebijakan moneternya.
"
Stance (pendirian) kita masih sama sejauh ini. Belum ada perubahan karena ada ketidakpastian di sisi globalnya masih tinggi. Belum buru-buru mengubah
stance," ujarnya.
Menurut Juda, ketidakpastian ekonomi global telah mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah hingga hari ini. Kejadian ini membuat BI harus turun tangan menstabilkan kurs dengan menggelontorkan persediaan dolarnya ke pasar keuangan.
Akibatnya, lanjut Juda, jumlah cadangan devisa Indonesia pada Agustus 2015 turun sebesar US$ 2 miliar menjadi US$ 105 miliar. Kendati demikian, Juda menilai persepsi investor terhdap pasar keuangan Indonesia masih positif seperti tercermin dari aliran modal yang masih masuk ke pasar obligasi negara.
Namun, Juda Agung tidak menampik derasnya aliran modal keluar dari pasar saham dan obligasi negara. Selama bulan lalu, BI mencatat 70 persen modal yang kabur (
capital outflow) dari Indonesia berasal dari pasar saham, sedangkan sisanya 30 persen dari pasar surat utang negara.
"Yang sifatnya
trader memang keluar di pasar SBN, tapi yang real money masuk. Artinya mereka melihat prospek ekonomi Indonesia ke depan baik. Terutama dari ada Bank Sentral dan sebagainya," ujarnya.
(ags)