Pengusaha Sawit Menolak jadi Kambing Hitam Kebakaran Lahan

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Selasa, 22 Sep 2015 16:27 WIB
Gapki menilai perusahaan sawit yang mengambil jalan pintas pembukaan lahan dengan cara membakar bisa menghemat triliunan rupiah, tetapi risiko hukumnya besar.
Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir, Sekjen Kementan Hari Priyono, Joefly J. Bachroeny, Ketua Umum Gabungan Pengusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Sekjen Gapki Joko Supriyono saat jumpa pers pada Konferensi Sawit International (IPOC) 2015 di Bandung, Kamis (27/11). (CNN Indonesia/Giras Pasopati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) gerah dengan tudingan-tudingan miring yang dialamatkan banyak pihak kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit menyusul kebakaran hutan dan bencana kabut asap yang menyelimuti sejumlah daerah.

Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono mengatakan perusahaan-perusahaan sawit anggotanya yang memiliki izin pengelolaan lahan sudah lama menerapkan standar zero burning sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan UU Nomor 39 Tahun 2013 tentang Perkebunan. Karenanya, ujar Joko, jika ada anggota Gapki yang tidak memenuhi ketentuan tersebut hanya akan merugikan bisnis dari perusahaan yang bersangkutan.

"Faktanya walaupun kami menganut prinsip zero burning kadang (kebakaran) tak terelakan, apalagi dengan lahan konsesi yang berbatasan dengan semak belukar dan areal tak bertuan lainnya. Kami sering kecipratan api dan kebakaran melanda areal kami," ujar Joko dalam konferensi pers di kantor Pusat Gapki, Selasa (22/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gapki, Eddy Martono mengatakan tudingan pembakaran lahan untuk membuka lahan sawit baru merupakan tudingan yang tidak masuk akal. Menurutnya, tidak mungkin perusahaan sawit membakar lahan tanam yang merupakan aset berharga bagi perusahaan sawit.

Kalaupun perusahaan sawit ingin membuka lahan baru, Eddy menuturkan, setiap tahunnya perusahaan mengerahkan biaya dan tenaga untuk membersihkan lahan menggunakan alat berat seperti eskavator. Dengan metode ini, ia mengestimasi, perusahaan harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta per hektar.

Asumsinya, lanjut Eddy, jika perusahaan memiliki lahan seluas 400 hektar, maka perusahaan harus mengerahkan biaya Rp 2,4 miliar untuk melakukan peremajaan lahan.

"Kalau perusahaan ingin mengambil jalan pintas dengan cara membakar, meski pun dia akhirnya hemat Rp 2,4 miliar, tapi resikonya luar biasa. Izinnya bisa dicabut atau dibekukan dan denda ratusan miliar. Apa benar perusahaan mau melakukan itu?" tanya Eddy.

(ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER