Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menuding oknum masyarakat di sekitar lahan konsesi kelapa sawit sebagai biang keladi pembakaran hutan. Kumpulan bos industri sawit itu juga menyalahkan pemerintah yang secara legal melindungi dan membiarkan aksi pembakaran hutan merajalela.
Pernyataan Gapki itu diwakili oleh Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria, Eddy Martono di kantor Gapki, Selasa (22/9).
Eddy menjelaskan , lahan konsesi yang dimaksud Gapki adalah lahan milik perusahaan sawit yang proses kepemilikannya belum 100 persen dikuasai akibat status lahan tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena masih dalam proses in kracht di pengadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya banyak lahan yang belum dibebaskan oleh masyarakat, namun masyarakat masih melakukan pembukaan ladang di dalam lahan konsesi tersebut. Akhirnya terjadi kebakaran," tuturnya.
Dia mengakui jika dilihat titik-titik api (hotspot) kebakaran banyak yang berada di tanah konsesi perusahaan. Namun, Eddy berdalih belum semua lahan konsesi disentuh atau diolah oleh perusahaan sawit sehingga tidak bisa sepenuhnya kesalahan dibebankan ke pengusaha.
"Tanggung jawab perusahaan tidak bisa penuh di situ," ujar Eddy.
Pembakar Hutan Dilindungi Hukum Eddy justru menuding balik pemerintah yang terkesan sengaja membiarkan aksi pembakaran hutan. Pasalnya, aksi pembakaran justru dihalalkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pasal 69 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2009, jelasnya, pembakaran lahan diperbolehkan dengan luasan maksimal 2 hektar.
Selain itu, lanjut Eddy, terdapat peraturan pemerintah pusat dan daerah yang mengizinkan masyarakat untuk melakukan pembakaran demi alasan pembukaan lahan. Bahkan, aksi tersebut dimungkinkan dengan hanya berbekal izin kepala desa jika luasan lahannya sekitar 1-5 hektar atau seizin camat untuk luas d atas 5 hektar.
Akibat dibakar dengan teknik dan metode yang salah, menurut Eddy, pembakaran tersebut menular ke lahan perkebunan sawit milik perusahaan sawit.
"Kebakaran hutan dan lahan gambut sudah berlangsung sejak puluhan tahun dan selalu berulang setiap tahun, bahkan sebelum perkebunan kelapa sawit berkembang," ujar Eddy.
Revisi BeleidUntuk itu, tegas Eddy, Gapki mendesak pemerintah untuk mencabut atau merevisi UU Nomor 32 Tahun 2009 karena dinilai sudah banyak merugikan industri sawit.
Apabila tidak bisa dicabut, katanya, Gapki menyarankan agar pemerintah membina masyarakat dan petani di sekitar lahan perkebunan. Pemerintah dinilai mampu menggunakan instrumen anggaran dana desa untuk meningkatkan pemahaman petani dan masyarakat di sekitar lahan konsensi.
"Misalnya membuat kelompok tani untuk edukasi pembukaan lahan dengan cara lebih baik dan ramah lingkungan, dan ada pembiayaan dari pemerintah dana murah atau mungkin melalui dana desa Rp 2 miliar per desa bisa dipakai yang jlas harus ada jalan keluarnya," kata Eddy.
(ags/gen)