Jakarta, CNN Indonesia -- Belum pulihnya harga komoditas pertanian maupun tambang dan energi membuat Indonesia tidak bisa mengoptimalkan kinerja ekspor sepanjang tahun ini di saat nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) menguat atas rupiah. Pada Rabu (23/9) rupiah sempat menyentuh titik terendahnya dalam empat tahun terakhir yaitu di angka Rp 14.623 per dolar Amerika Serikat (AS).
“Sayangnya kemerosotan rupiah tidak mampu mendongkrak ekspor. Karena tekanan terhadap harga komoditas diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun ini. Itulah konsekuensi dari dominasi komoditas dalam ekspor Indonesia,” ujar Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri dalam riset, dikutip Jumat (25/9).
Ia menyayangkan, pemerintah dan bank sentral seolah tidak menganggap pelemahan ini sebagai sesuatu hal yang serius. Karena jika dihitung sejak 2 Agustus 2011, nilai rupiah menurut mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas tersebut sudah tergerus 42,14 persen terhadap dolar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faisal menyebut salah satu komponen terbesar aliran dana keluar adalah repatriasi laba perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Ia mengutip data neraca pembayaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI), besarnya repatriasi laba perusahaan asing yang dicatat sebagai pembayaran atas pendapatan modal ekuitas nilainya mengalami peningkatan.
“Seandainya pemerintah bisa merayu perusahaan asing untuk menginvestasikan separuh dari laba yang biasanya mereka kirim ke negara asalnya dengan memberikan insentif fiskal, maka tekanan modal keluar akan berkurang cukup signifikan,” ujar Faisal.
Tidak tanggung-tanggung, nilai modal yang bisa ditekan dengan melakukan kebijakan tersebut menurutnya mencapai US$ 8 miliar sampai US$ 9 miliar.
“Selain itu, investasi akan bertambah dengan jumlah yang sama, kapasitas produksi meningkat, dan penyerapan tenaga kerja pun bertambah,” tegasnya.
Optimalkan ChinaCara lain yang menurut Faisal efektif dalam mendongkrak nilai rupiah adalah dengan mengaktifkan kembali perjanjian dengan China dalam
bilateral currency swap arrangement untuk mengurangi transaksi dalam dolar. Menurutnya, perjanjian untuk menggunakan mata uang masing-masing negara untuk kegiatan perdagangan, investasi, dan likuiditas sudah ada sejak 2009 dan berlaku selama tiga tahun.
“Nilainya cukup signifikan mengingat China merupakan tujuan ekspor dan asal impor terbesar bagi Indonesia. Namun setelah 2011, perjanjian itu terbengkalai. Lalu pada 2013 perjanjian diperbarui sampai 2016. Sayang sekali hanya 2 persen yang termanfaatkan. Fasilitas ini senilai Rp 175 triliun. Perlu segera ditemukan kendalanya,” kata Faisal.
(gen)