Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Center For Budget Analysis, Uchock Sky Khadafi menilai pemerintah tak memiliki satu acuan (parameter) yang ajeg untuk mengukur jumlah rakyat miskin di Indonesia.
Hal tersebut terlihat dari banyaknya angka yang dimiliki pemerintah untuk menentukan jumlah anggaran dan kebijakan bagi rakyat miskin saat ini.
"Kita bingung soal angka pasti kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik 28 juta jiwa, tapi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ada 88,2 juta. Mana yg mau dipakai? Atau data raskin dari Bulog yang hanya 15,5 juta jiwa," ujar Uchock di Cikini, Jakarta, Minggu (27/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berangkat dari perbedaan data tadi, Uchock meyakini pemerintah akan kesulitan di dalam memberikan bantuan dan menilai optimalisasi kebijakan yang dikeluarkan.
Apalagi ketika saat ini Presiden Joko Widodo dilihat terlalu menggembor-gemborkan pembangunan infrastruktur sebagai orientasi nasional.
Dengan kebijakan tersebut, ia pun berkesimpulan tak ada dampak langsung yang bisa dirasakan oleh rakyat miskin, justru lebih menguntungkan investor.
"Pembangunan infrastruktur itu kesukaan Pak Jokowi, karena ada kentungan dibalik itu," ujarnya.
Program Tak Berjalan BaikMenyusul eksekusi program infrastruktur, Uchock mengungkapkan pembangunan infrastruktur yang sejatinya diproyeksikan akan menjadi penggerak terhadap ekonomi nasional nyatanya tidak berjalan dengan baik.
Bahkan, sampai saat ini dirinya melihat tak ada dampak signifikan yang dirasakan oleh masyarakat dari kebijakan tersebut. Di samping program tersebut juga dinilai gagal menanggulangi kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
"Banyak anggaran infrastruktur dikeluarkan bagi inveator. Tapi nyatanya tidak ada investor yang masuk, justru keluar. Soalnya kondisi keadaan Indonesia (juga) sedang tidak jelas," ujarnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2015 kemarin tercatat jumlah penduduk miskin berjumlah 28,59 juta, atau bertambah 310 ribu orang dibandingkan posisi Maret 2014.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, sejak dua tahun lalu masyarakat Indonesia telah mengalami penurunan penghasilan. Sementara di lain sisi harga pangan terus bergerak naik.
“Kemiskinan mengukurnya begitu,
income-nya berapa, pangan harganya berapa karena itu yang paling besar peranannya dalam mengukur tingkat kemiskinan. Ada juga yang lain tapi yang paling besar pangan,” kata Darmin di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (16/9).
(dim)