Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia memprediksi kelesuan ekonomi dan guncangan sektor keuangan masih akan membayangi kawasan Asia Timur dalam beberapa tahun mendatang. Salah satu yang menjadi perhatian utama Bank Dunia adalah perekonomian China, yang diramalkan akan terus melambat hingga 2017 setelah diyakini tumbuh 7 persen pada tahun ini.
“Pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur melemah karena ekonomi Tiongkok berupaya mendapatkan keseimbangan dan kemungkinan normalisasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat,” kata Sudhir Shetty, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik di Singapura melalui teleconference Senin (05/10).
Menurut Shetty, pelambatan ekonomi yang akan terjadi di China pada 2016-2017 dampak yang upaya otoritas terkait di negara tersebut mengendalikan dan menangani resiko penurunan ekonomi. Kebijakan stabilisasi ekonomi China yang menjadi sorotan antara lain pemangkasan utang negara, pelarangan menabung di luar sistem perbankan, dan serta memperbesar peran negara dalam sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika pertumbuhan Tiongkok semakin melambat, dampaknya dapat dirasakan di seluruh kawasan, terutama di negara-negara yang terhubung dengan Tiongkok melalui perdagangan, investasi dan pariwisata," tuturnya.
Tak hanya faktor China, Bank Dunia juga mempehitungkan pula rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) menaikkan suku bunga acuannya dalam beberapa bulan ke depan.
"Meski kenaikan ini telah diantisipasi, dan diharapkan berlangsung secara teratur, tetap ada resiko pasar dapat bereaksi terhadap pengetatan tersebut, yang dapat menyebabkan depresiasi mata uang, meningkatnya perbedaan imbal hasil, surat utang negara, berkurangnya aliran dana dan pengetatan likuiditas," jelas Sudhir Shetty.
Menurut Shetty, faktor-faktor ini dapat menimbulkan guncangan finansial dalam jangka pendek. Namun, semua itu dinilai sebagai penyesuaian yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Axel van Trotsenburg, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik menilai melambatnya ekonomi China ditandai dengan bergesernya struktur ekonomi Negeri Tirai Bambu, dari yang sebelumnya mengandalkan industri kini lebih berorientasi pada konsumsi domestik dan sektor jasa.
Apabila China bisa tumbuh 7 persen pada tahun ini, maka negara-negara berkembang lainnya di Asia Timur diramalkan Bank Dunia hanya akan tumbuh 4,6 persen pada 2015.
Indonesia, bersama negara-negara produsen komoditas lainnya seperti Malaysia dan Mongolia diyakini juga akan terkena imbasnya. Penurunan harga komoditas menyebabkan perekonomian ketiga negara ini akan tumbuh perlahan dan berakibat pada menurunnya pendapatan negara.
"Sedangkan negara-negara importir komoditas akan bertahan stabil, bahkan tumbuh. Vietnam, misalnya, diharapkan tumbuh 6,2 persen pada 2015 dan 6,3 persen pada 2016," tutur Trotsenburg.
(ags)