Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia menilai perlambatan ekonomi nasional dan gejolak pasar uang membuat Bank Indonesia (BI) dilema dalam mengambil kebijakan moneter.
Untuk menggerakan ekonomi yang lesu, bank sentral dituntut menurunkan suku bunga. Di sisi lain, ketidakpastian pasar uang global membuat BI merasa perlu berhati-hati dengan memperketat kebijakan moneter.
Ekonom Bank Dunia, Elitza Minelva menjelaskan, pada satu sisi banyak pihak yang menginginkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan meminta Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate. Namun, pada saat yang sama, BI tidak bisa menurunkan suku bunga dengan mudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini BI mengalami dilema kebijakan," ujar Elitza dalam konferensi pers di kantor Bank Dunia, Jakarta, Senin (5/10).
Minelva menilai, dilema BI ditentukan oleh arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve yang berencana menaikan suku bunga acuannya pada akhir tahun ini.
Kenaikan suku bunga The Fed akan dianggap para investor lebih menarik sehingga berlomba-lomba mencari keuntungan dengan memegang portfolio keuangan berdenominasi dolar AS.
Oleh karena itu, Minelva menilai kenaikan BI rate akan merangsang aliran modal masuk (capital inflow) lebih deras seiring dnegan melebarnya selisih imbal hasil (yield) investasi dengan negara lain.
Sementara itu, lanjut Minelva, BI merasa perlu untuk menahan BI rate guna mengendalikan laju inflasi. Menurutnya, inflasi inti menjadi salah satu faktor dalam penentuan tingkat suku bunga acuan bank sentral.
"
Core inflation juga menjadi alasan BI menahan suku bunga," ujarnya.
Di sisi lain, Minelva melihat posisi bank sentral bakal terjepit karena tren penurunan harga komoditas global turut menyeret perlambatan ekonomi dan menekan konsumsi domestik. Alhasil, kebijakan untuk menurunkan suku bunga dianggap kurang efektif karena permintaannya tengah melemah.
"BI mencoba mengurangi tekanan rupiah melalui instrumen rate namun di sisi lain permintaan domestik masih lemah terutama konsumsi swasta, memang bukan suatu keputusan yang mudah," ujarnya.
Elitza menyarankan agar BI dan pemerintah bahu membahu melakukan reformasi struktural ekonomi. Salah satunya adalah mereformasi kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai sangat berpengaruh terhadap inflasi nasional.
(ags/gen)