SETAHUN JOKOWI-JK

Satu Warsa Tersandera Fluktuasi Rupiah

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Selasa, 20 Okt 2015 12:07 WIB
Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi masalah paling krusial yang harus dihadapi pemerintahan Joko Widodo selama setahun ini.
Ilustrasi (CNN Indonesia/Antara Photo/Wahyu Putro)
Jakarta, CNN Indonesia -- Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menjadi masalah paling krusial yang harus dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama memimpin Indonesia setahun terakhir. Nilai tukar rupiah sempat mengalami depresiasi secara terus menerus selama beberapa waktu. Pergerakan rupiah tersebut didorong oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2105, pemerintah mematok asumsi nilai tukar selama tahun 2015 bergerak di kisaran Rp12.200 per US$, lebih tinggi dari asumsi APBN peninggalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang mematok asumsi kurs berada di kisaran Rp11.900 per US$.

Asumsi tersebut diajukan oleh Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro dalam Rancangan APBNP 2015, di hadapan Badan Angaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada akhir 2014.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memasuki tahun 2015, rupiah terus mengalami depresiasi. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, pada awal Januari rupiah dibuka melemah di titik Rp12.385, terlempar jauh dari asumsi pemerintah dalam RAPBNP 2015.

Hingga Februari rupiah terus melemah hingga menyentuh level Rp12.680 per US$. Melihat kondisi yang sudah tidak sesuai asumsi lagi, pemerintah pun buru-buru melakukan revisi dalam target APBNP 2015.

Untuk asumsi pertumbuhan ekonomi misalnya, Menkeu Bambang mengungkapkan bahwa pemerintah dan Panja A sepakat untuk menurunkan asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,7 persen, atau 0,1 persen lebih rendah dibandingkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam nota keuangan RAPBNP 2015 yang sebesar 5,8 persen.

“Pembahasan mengenai asumsi untuk pertumbuhan ekonomi kesepakatan di Panja A yang juga berasal dari Komisi XI itu adalah 5,7 persen, atau lebih rendah dibandingkan nota keuangan di RAPBNP yang 5,8 persen,” kata Menkeu Jumat (6/2) di Jakarta.

Sementara asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga disepakati melemah, yakni menjadi sebesar Rp12.500 per dolar AS.

Revisi ini bukanlah yang terakhir dilakukan. Sentimen global semakin menjadi tantangan eksternal yang dihadapi oleh perekonomian domestik selama tahun 2015. Perlambatan ekonomi China dan penurunan harga komoditas global terutama minyak diperkirakan akan kembali melambat.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan setidaknya ada tiga faktor eksternal yang membuat rupiah terus mengalami pelemahan. Pertama, ketidakpastian rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengumumkan kenaikan suku bunga. Investor menunggu apakah The Fed jadi atau tidak menaikkan suku bunga.

Lalu yang kedua, adanya kebijakan devaluasi mata uang China, Yuan, oleh People's Bank of China (PBoC) pada medio Agustus lalu. Tidak hanya di Indonesia, akibat devaluasi Yuan ini juga berdampak pada sejumlah mata uang di seluruh dunia.

Kemudian yang ketiga, adanya tren harga minyak mentah dunia yang terus melemah. Turunnya harga minyak dunia juga menjadi penyebab terpuruknya mata uang global yang berimbas pada rupiah. Ketiga faktor inilah yang menurut Darmin membuat rupiah bernasib jelek sepanjang tahun.

Hingga pada akhirnya pada 29 September lalu, nilai tukar rupiah anjlok ke level Rp14.800, nilai ini merupakan yang terburuk sejak krisis moneter menerpa 1998 lalu. Dan lagi-lagi, jauh dari asumsi pemerintah. "Kurs kita ini bukan nilai yang sebenarnya. Selama sekian bulan terakhir, rupiah kita itu sudah lebih banyak merupakan pengaruh dari spekulasi, dari persepsi, dan lainnya," ujar Darmin, Kamis (15/10).

Tiba-tiba keadaan berbalik pada awal Oktober. Nilai tukar rupiah menguat selama awal Oktober 2015. Bahkan penguatan rupiah menjadi yang terbesar dibandingkan mata uang negara-negara sekawasan. Sejak 1 Oktober lalu, rupiah tercatat sudah menguat hingga 3 persen. Bahkan dalam perdagangan hari Jumat (16/10), rupiah sempat mencapai level Rp13.500 per US$.

Penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini dinilai hanya berlangsung sementara, terutama disebabkan rilis data tenaga kerja AS dan indeks manufaktur (ISM Manufacturing Index) AS yang tidak sesuai ekspektasi pasar. Kendati demikian, Menko Darmin dan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara sepakat mengatakan, nilai tukar rupiah saat ini tidak mencerminkan nilai fundamental yang sebenarnya.

DPR pun menuntut pemerintah memasang target asumsi makro yang lebih realistis dalam penyusunan RAPBN 2016 mendatang. Akhirnya dalam RAPBN 2016 pemerintah mematok nilai asumsi kurs nilai tukar di angka Rp 13.900 per dolar AS.

Asumsi tersebut sekaligus mengesampingkan kondisi nilai tukar yang mulai membaik sejak awal Oktober. Alasannya, pemerintah masih ragu bahwa penguatan nilai tukar ini bakal bersifat jangka panjang. Menkeu Bambang mengatakan bahwa belum pastinya kenaikan suku bunga Amerika Serikat, Fed Rate dari angka 0 sampai 0,25 persen menjadi alasan kenapa pemerintah belum mau mengubah asumsi tersebut.

Berikut ini grafik pergerakan rupiah:

Grafik pergerakan rupiah (Dok. Bank Indonesia)
(ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER