Jakarta, CNN Indonesia -- Perkembangan ekonomi global dan domestik penuh ketidakpastian. Setidaknya demikian yang kerap disampaikan oleh pemerintah sebagai alasan atas melesetnya sejumlah target ekonomi. Seolah sudah menjadi standar baku pembelaan diri, siapapun penguasanya, dalil ini kerap dikemukakan pemerintah ketika roda ekonomi tak bergerak seperti yang diharapkan.
Namun di balik ketidakpastian itu selalu ada yang pasti berulang setiap tahunnya, yakni kebijakan defisit anggaran negara yang selalu ditutup dengan utang baru. Ini merupakan suatu praktik yang dilazimkan dalam pengelolaan fiskal ketika nafsu belanja pemerintah melampaui kemampuannya untuk mengumpulkan penerimaan negara.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi momok bagi hampir seluruh negara di dunia, terutama negara berkembang. Mungkin yang membedakan adalah tingkat kesehatan neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang biasanya dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik bruto atau istilahnya
debt to GDP
ratio.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan hitung-hitungan pemerintah, rasio utang Indonesia pada tahun ini akan sebesar 24,7 persen dari PDB, masih lebih rendah dibandingkan banyak negara lainnya. Dengan asumsi PDB nominal sebesar Rp11.701 triliun, maka total utang pemerintah pusat pada akhir 2015 ditaksir mencapai Rp2.891 triliun. Sebuah nominal utang yang sulit dibayangkan kapan dan bagaimana itu bisa dilunasi.
Patut diingat, semua rezim yang pernah berkuasa di negeri ini punya andil dalam menimbun pundi-pundi utang pemerintah. Kontribusinya bisa diukur dari berapa lama rezim itu berkuasa.
Joko Widodo-Jusuf Kalla pada tahun pertama kekuasannya sudah diramalkan bakal menyumbang utang baru sebesar Rp282 triliun. Utang itu untuk menambal defisit APBNP 2015 yang sebesar Rp222,5 triliun (1,9 persen PDB), sedangkan sisanya untuk merustrukturisasi utang lama yang jatuh tempo.
Semua itu bisa terjadi kalau target penerimaan negara sebesar Rp1.761,6 triliun tercapai dan alokasi anggaran belanja Rp1.984,1 triliun terserap habis.
Alasan KlasikSayangnya, sembilan bulan berjalan setoran pajak yang masuk kas negara baru setengah dari yang ditargetkan (53,02 persen). Sementara anggaran belanja negara yang terpakai hingga Agustus 2015 baru separuh dari yang dialokasikan (53,1 persen). Kalau mengacu pada realisasi tersebut, seharusnya defisit APBNP 2015 tidak terlalu membengkak.
Namun, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro punya hitungan yang lebih valid. Dia memperkirakan defisit APBN tahun ini akan melebar, dari 1,9 persen PDB menjadi sekitar 2,5 persen PDB.
Alasannya adalah penerimaan negara, terutama dari setoran pajak, kemungkinan akan meleset (
shortfall) sekitar Rp140 triliun lebih rendah. Sebaliknya dari sisi belanja, Bambang optimistis anggarannya bakal terserap 95 persen karena seperti biasa baru akan digenjot di kuartal terakhir.
Persoalan BaruUntuk menambal defisit APBNP 2015, pemerintah melalui kementerian kembali agresif melakukan penerbitan obligasi negara secara besar-besaran di awal tahun. Kebijakan pembiayaan yang dikenal dengan istilah
front loading strategy ini sudah dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan keinginan pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri.
Strategi ini sejatinya untuk memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah di awal tahun yang belum bisa dipenuhi dari penerimaan negara. Namun, pada kenyataannya cara berutang agresif ini tetap dipertahankan hingga semester kedua.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, total utang pemerintah yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) per Agustus 2015 mencapai Rp2.276 triliun. Angka tersebut meningkat sebesar Rp345 triliun atau hampir 18 persen jika dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2014 yang sebesar Rp1.931 triliun.
Kendati demikian, pinjaman yang ditarik pemerintah tak kunjung berkurang. Statistik mencatat, total utang yang berasal dari penarikan pinjaman hingga Agustus 2015 sebesar Rp729 triliun, bertambah Rp51 triliun sejak awal tahun.
Rasio utang besar sebenarnya tidak masalah ketika situasi ekonomi baik dan suku bunga rendah karena dapat meningkatkan keuntungan dari porsi belanja modal yang meningkat. Namun sebaliknya, utang yang ditarik bisa menjadi bumerang ketika ekonomi sedang sulit dan suku bunga tinggi karena justru bisa memicu masalah keuangan.
Situasi saat ini tampaknya lebih mengarah pada kondisi yang kedua, di mana ekonomi nasional hanya tumbuh 4,7 persen pada semester I dari target 5,7 persen di APBNP 2015. Sementara tingkat suku bunga perbaankan relatif masih tinggi di tengah gejolak sektor keuangan.
Apabila meneliti komposisinya, sekitar 44,8 persen utang pemerintah ditarik dalam mata uang asing, di mana demoninasi yang terbesar dalam bentuk dolar AS, Yen, dan Euro. Struktur utang valas yang cukup besar tentu berisiko membengkak di tengah pelemahan nilai tukar rupiah yang terjerembab di level terendah sejak krisis 1998.
Tak hanya itu, kebijakan pemerintah menggenjot penerbitan Surat Utang Negara (SUN) juga berpotensi memicu terjadinya kekacauan (
crowding out) di pasar obligasi. Pasalnya, membanjirnya SUN di pasar bisa menimbulkan kompetisi yang tidak seimbang dengan korporasi atau swasta yang juga memerlukan pembiayaan yang tak sedikit. Terlebih obligasi yang diterbitkan pemerintah dan swasta tak melulu dalam bentuk rupiah, tetapi juga banyak yang berdenominasi dolar AS.
Dengan komposisi utang valas yang cukup besar, maka dibutuhkan dolar AS yang tak sedikit untuk membayar bunga dan pokok utang yang jatuh tempo setiap tahunnya. Hal ini berdampak pada tergerusnya jumlah cadangan devisa dan membatasi ruang gerak bank sentral dalam menjaga stabilisasi rupiah.
Bank Indonesia (BI) melaporkan jumlah cadangan devisa pada akhir September 2015 sebesar US$101,7 miliar, turun US$3,6 miliar dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya US$105,3 miliar.
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo menjelaskan turunnya cadangan devisa adalah akibat tingginya aktivitas pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta yang mayoritas memasuki masa jatuh tempo.
Dalam RAPBN 2016 yang diajukan ke DPR, pemerintah merencanakan belanja negara sebesar Rp2.121,3 triliun dan memasang target pendapatan negara Rp1.848,1 triliun.
Dengan demikian, akan tercipta defisit fiskal sebesar Rp273,2 triliun atau 2,1 persen PDB.Untuk menambalnya, pemerintah akan menarik pembiayaan dalam negeri Rp272 triliun dan utang luar negeri neto Rp1,2 triliun.
Apabila pemerintah hanya bisa pasang target tinggi tanpa ada solusi dan kemampuan untuk mengeksekusi, permasalahan yang sama masih akan terulang pada tahun depan.
(ags/ded)