Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menilai tidak masalah rasio utang negara terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) membengkak selama sumber pembiayaannya berasal dari kantong masyarakat Indonesia.
“Pembiayaan yang ideal adalah tidak apa-apa persentase (utang terhadap PDB)-nya besar sejauh yang membayar adalah masyarakatnya sendiri,” ujar Bambang dalam acara pembukaaan masa penawaran ORI012 di Gedung Juanda Kompleks Kemenkeu, Senin (21/9).
Untuk itu, Menkeu menginginkan agar basis investor domestik dalam pembiayaan utang negara meningkat. Menurutnya, pendalaman pasar domestik penting guna mengurangi risiko pembiayaan di masa depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kita perlu terus memperkuat basis domestik supaya suatu saat utang kita itu utang yang risikonya makin kecil karena yang membeli adalah masyarakat sendiri,” tuturnya.
Bambang mencontohkan, meskipun rasio utang Jepang terhadap PDB mencapai 200 persen atau jauh lebih besar dibandingkan rasio utang Indonesia yang ada di kisaran 25 -27 persen, porsi investor asing Jepang hanya 9 persen.
“Utang Jepang yang begitu besar hanya 9 persen yang dimiliki oleh asing, 91 persennya dipegang oleh orang Jepang sendiri. Orang Jepang lebih punya kesetiaan pada instrumen yang dimiliki oleh negaranya sendiri dibandingkan terhadap instrumen asing,” kata Bambang.
Menkeu mengungkapkan, saat ini porsi investor asing mencapai 37,76 persen dari outstanding nilai Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi rupiah di pasar sekunder atau sekitar Rp 529 triliun.
“Kalau kepemilikan asing masih 38 persen dan berarti (kepemilikan) domestik 62 persen itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, asingnya selalu menang lelang terhadap domestik atau domestiknya yang masih kurang besar. Saya melihatnya yang nomor dua, domestiknya masih kurang besar,” kata Bambang.
Oleh karenanya, Bambang mengatakan pemerintah secara bertahap akan memperluas basis investor domestik. Salah satunya dengan meningatkan penerbitan Obligasi Negara Ritel (ORI), sukuk ritel dan saving deposit ritel.
Varian obligasi ritel itu, lanjut Bambang, relatif lebih mudah diterima oleh investor domestik yang sebagian besar selera risikonya masih konservatif dan pendanaannya terbatas.
Berdasarkan catatan Kemenkeu, porsi obligasi negara ritel hingga pertengahan September 2015 baru sebesar 8,83 persen dari total outstanding SUN di pasar sekunder.
“Yang retail-retail ini secara perlahan akan kita tingkatkan sizenya dengan meningkatkan sizenya kan otomatis kita bisa mengurasi porsi yang lain. Tapi sekali lagi ini tidak bisa dilakukan secara drastis, mendadak, ini harus secara bertahap,” ujarnya.
(ags/gen)