Jakarta, CNN Indonesia -- PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menyatakan ketertarikannya untuk membeli sebagian dari 10,64 persen saham divestasi yang akan ditawarkan PT Freeport Indonesia kepada pemerintah Indonesia. Perusahaan pengolahan aluminium pelat merah itu bahkan menyatakan jika kas perusahaan sebesar US$ 400 juta dinilai masih kurang, manajemen siap mencarikan dana tambahan untuk saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Namun Direktur Keuangan Inalum Oggy Kosasih menyatakan opsi BUMN membeli saham Freeport hanya bisa dilakukan jika pemerintah pusat dan daerah tidak berencana menghabiskan uang negara untuk membeli saham. Inalum menurutnya juga akan menggandeng BUMN lain yaitu PT Aneka Tambang Tbk dalam mencaplok saham tersebut.
Untuk mendapatkan dana tambahan, Oggy mengatakan akan mencari pinjaman sindikasi dari pihak perbankan. Meski ia mengaku masih belum tahu berapa jumlah uang yang akan dipinjam. Penawaran harga saham yang sampai sekarang belum disodorkan Freeport kepada pemerintah, menjadi alasan utama atas hal tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jumlah dana yang akan kami siapkan itu masih dikaji oleh konsultan dengan melihat kemampuan kas internal kami. Saat ini, jumlah kas kami sebesar US$ 400 juta, dan itu akan kami jadikan basis untuk melihat berapa jumlah uang yang bisa kami pinjam," terangnya di Jakarta, Rabu (21/10).
Alasan lain yang menyebabkan perusahaan belum menentukan jumlah pinjaman adalah masalah proporsi perusahaan di dalam konsorsium pembelian saham. Oggy menambahkan, hal itu nanti bisa diketahui setelah Inalum mengetahui selisih antara harga penawaran yang diberikan dan harga penawaran wajar hasil kajian pemerintah.
Hitung Kewajaran HargaAgar kajian ini menjadi mudah, ia juga menginginkan agar Inalum dan Antam diikutsertakan dalam menilai kewajaran harga saham yang ditawarkan oleh perusahaan tambang asal AS tersebut.
“Kami dari sisi BUMN menginginkan diberikan keleluasaan untuk memberikan penilaian juga tentang kewajaran harga yang ditawarkan Freeport yang nanti menjadi dasar negosiasi," ujar Oggy.
Seperti diketahui, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Freeport wajib melepas sahamnya sebesar 30 persen ke investor nasional karena diklasifikasikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah (
underground mining).
Lantaran saat ini pemerintah telah mengempit saham Freeport Indonesia sebesar 9,36 persen, artinya masih terdapat sisa saham sekitar 20,64 persen yang harus dilepas perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
Untuk tahun ini, Freeport diwajibkan melepas 10,64 persen sahamnya guna menggenapi 9,46 persen yang telah dipegang oleh pemerintah sehingga menjadi 20 persen. Sementara 10 persen sisanya baru masuk masa penawaran divestasi pada 2020.
Penawaran harga divestasi oleh Freeport seharusnya diserahkan ke Pemerintah pada tanggal 14 Oktober lalu, setelah itu evaluasi harga akan dilaksanakan 90 hari untuk menentukan kewajaran harga penawaran. Namun hingga kemarin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) belum menerima penawaran tersebut.
(gen)