Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menawarkan dua skema kontrak baru dalam pengembangan sumber energi non-konvensional di Indonesia, yang tidak hanya terbatas pada kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC).
Adapun skema yang ditawarkan ke Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), terutama untuk menggenjot produksi shale gas dan gas metan batubara (coal bed methane/CBM) adalah
Net PSC dan
Gross split PSC Sliding Scale.“Setelah melalui diskusi bersama SKK Migas akhirnya kami sepakat untuk menambah dua format kontrak baru yakni
net production sharing contract (PSC) dan
gross split-sliding scale,” ujar Djoko Siswanto, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Kamis sore (22/20).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penerapan format
net PSC, jelas Djoko, angka produksi bersih gas akan dibagi (
equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor setelah dikurangi jatah kontraktor (
first tranche petroleum/FTP) dan kompensasi biaya (
cost recovery).
Yang membedakan format ini dengan PSC, Djoko bilang terletak pada penerapan mekanisme
sliding scale (skala berjenjang) dalam persentase bagi hasil yang disesuaikan dengan angka produksi.
“Jadi di (format)
net PSC, cost recovery tetap ada tapi ada
sliding scale yang besarannya tidak
fix. Contoh jika produksinya 1 BCF (
billion cubic feet) investor akan mendapat bagian (
split) yang lebih banyak. Tapi kalau nanti produksinya sampai 2 sampai 10 BCF split-nya 3 persen untuk pemerintah, 97 persen untuk kontraktor. Kalau sampai 100 BCF ke atas akan 25 persen (pemerintah),75 persen (kontraktor),” jelas Djoko.
Sementara dalam format
Gross split PSC Sliding Scale, jelasnya angka produksi bersih gas akan dibagi (
equity to be split) untuk pemerintah dan kontraktor tanpa harus dipotong oleh komponen jatah kontraktor (FTP) dan
cost recovery. Dia menerangkan, format ini menyerupai skema royalti and pajak dengan penambahan mekanisme skala berjenjang.
“Tapi format besarannya (
sliding scale) pasti akan sedikit berbeda dengan
Net PSC,” jelasnya.
Dalam sektor migas,
Gross Split PSC Sliding Scale dikenal sebagai kontrak kerja sama yang langsung membagi pendapatan kotor dari suatu wilayah kerja antara pemerintah dan kontraktor. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah
cost recovery dalam kontrak kerjasama migas non-konvensional karena pemerintah karena tidak perlu lagi mengganti biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor.
Kendati demikian, lanjut Djoko, pemerintah tetap akan memberikan kesempatan kepada kontraktor untuk tetap memilih PSC jika merasa format tersebut lebih menguntungkan.
“Silakan saja kalau mereka mau. Yang pasti kami mengajukan dua format baru itu untuk meningkatkan produksi CBM yang sekarang tak lebih dari 0,3 MMSCFD. Padahal pengembangan CBM dan shale gas sendiri dari 2008 lalu,” tuturnya.
Djoko mengungkapkan untuk memuluskan rencana ini pemerintah akan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM terbaru. Ia pun meyakini kehadiran dua format rezim fiskal baru tadi mampu menggenjot pengembangan gas non-konvensional di Indonesia.
“Targetnya kalau bisa awal tahun depan sudah bisa diterapkan. Aturan ini sekaligus untuk shale gas ya,” ujar mantan Direktur Bahan Bakar Minyak (BBM) Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tersebut.
(ags)