Tiga Kebijakan Ekonomi Dunia Tentukan Nasib Rupiah di 2016

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Selasa, 27 Okt 2015 17:11 WIB
Pelonggaran kebijakan moneter Jepang dinilai berdampak positif bagi rupiah, sementara penaikan suku bunga The Fed berdampak sebaliknya.
Pelonggaran kebijakan moneter Jepang dinilai berdampak positif bagi rupiah, sementara penaikan suku bunga The Fed berdampak sebaliknya. (ANTARA FOTO/Pradita Utama).
Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan tetap tertekan hingga akhir tahun. Bahkan DBS Group Research memprediksi nilai tukar rupiah akan berada di level Rp 14.850 per dolar pada awal kuartal I 2016.

Ekonom DBS Gundy Cahyadi mengatakan nilai tukar rupiah masih bergantung pada sejumlah sentimen global. Gundy mengatakan ada tiga kebijakan ekonomi dunia yang diperkirakan mampu menentukan nasib rupiah.

Pertama kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral Jepang dan bank sentral negara-negara Uni Eropa. Negara-negara tersebut mencetak uang lebih banyak guna mengangkat perekonomiannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Asset to GDP di Jepang dari 2012 naik drastis, artinya banyak Yen Jepang yang dicetak. Di Eropa sendiri QE dimulai sejak 2014, kami prediksi QE di Eropa setidaknya akan sampai September 2016," ujar Gundy di Jakarta, Selasa (27/10).

Akibat mencetak uang terlalu banyak, posisi nilai tukar yen dan euro terhadap dolar pun menjadi lemah. Dengan konfigurasi ini, peluang bagi mata uang emerging markets menguat cukup besar.

Ia berpendapat pasar keuangan Indonesia bisa memanfaatkan kondisi pelemahan nilai mata uang euro ini untuk menarik dana asing sebesar-besarnya baik melalui penerbitan saham maupun obligasi.

Dengan kata lain kebijakan QE ini relatif lebih menguntungkan posisi Indonesia. Bila situasi fundamental ekonomi dan politik Indonesia membaik, potensi penguatan nilai tukar rupiah lebih terbuka pasca kebijakan QE Jepang ini.

Yang kedua, lanjut Gundy, di sisi lain AS justru tengah menuju pengetatan kebijakan moneternya. AS berusaha menarik uang beredar dengan cara menaikkan suku bunga acuannya (Fed Rate) sehingga membuat portofolio investasi di AS menjadi lebih menarik bagi investor.

Kedua kebijakan tersebut diperkirakan muncul dalam kurun waktu yang sama.

"Dua kebijakan tersebut membuat nilai mata uang Asia bergerak di tengah-tengah. Tidak akan sekuat dolar AS namun tidak akan selemah euro dan yen," kata Gundy.

Kebijakan ketiga yakni pelemahan mata uang (devaluasi) yuan China. Bank sentral China diyakini akan tetap melanjutkan kebijakan devaluasinya guna menggenjot nilai ekspor negaranya.

Kebijakan ini membuat nilai dolar menguat terhadap mata uang yuan dan rupiah.

"Faktor utama risiko ke depan, adalah rupiah masih berpotensi melemah terhadap dolar. Bukan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia jelek, tapi ini karena isu global," katanya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER