Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat menghasilkan dua hal penting. Pertama, Indonesia berhasil menandatangani kesepakatan bisnis dan investasi dengan nilai yang besar masing-masing sejumlah US$20,075 (2,5 kali lebih besar dari total investasi mereka di Indonesia dalam 5 tahun terakhir) dan US$175 juta.
Kesepakatan pertama ini penting untuk meningkatkan kembali performa ekonomi Indonesia yang sempat menurun saat ini.
Kedua, Indonesia ditawari oleh Presiden Barack Obama untuk bergabung dengan
Trans-Pacific Partnership (TPP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
TPP merupakan sebuah blok perdagangan bebas yang dipelopori Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menyeimbangkan kembali kekuatan strategis mereka di Kawasan Asia Pasifik dalam bidang ekonomi.
TPP menjanjikan peluang pasar yang menjanjikan. Dengan 12 anggota saat ini, TPP memiliki potensi perdagangan dengan total GDP (Gross Domestic Product) negara anggotanya sebesar US$27,7 trilliun yang merupakan total 40% dari GDP dunia.
Dalam kunjungan tersebut, Presiden Jokowi menyatakan keinginannya untuk terlibat dalam blok perdagangan tersebut.
Pernyataan Presiden Jokowi ini menimbulkan pertanyaan terkait netralitas Politik Luar Negeri Indonesia saat ini.
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, telah dinyatakan secara gamblang bahwa Indonesia akan melaksanakan Politik Luar Negeri secara bebas dan aktif. Melaksanakan Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif artinya Indonesia tidak akan memihak blok manapun dalam pergaulan internasional.
Sayangya, pernyataan Presiden Jokowi yang memberikan indikasi akan bergabung dengan TPP berpotensi memberikan gambaran bahwa Indonesia akan melakukan pemihakan terhadap satu blok tertentu.
Selain itu, Politik Luar Negeri Indonesia secara jelas menyatakan bahwa Indonesia akan menggunakan ASEAN sebagai soko guru.
Sebenarnya, Indonesia telah turut berpartisipasi aktif dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Pada dasarnya, kedua kebijakan tersebut telah mencerminkan posisi Politik Luar Negeri yang baik dalam bidang ekonomi dalam ruang lingkup kawasan regional. Dua bentuk kerjasama inilah yang seharusnya difokuskan Indonesia, sebelum memasuki tahap kerjasama dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Dalam aspek ekonomi, kondisi perekonomian Indonesia saat ini bukan momentum yang baik bagi Indonesia untuk masuk ke dalam TPP.
Indonesia baru saja dalam tahap membangun sistem perekonomian yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari paket-paket kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, investasu satu pintu oleh BKPM, anggaran untuk pembangunan infrastruktur (8 persen dari total APBN 2016) dan lainnya.
Paket kebijakan yang baru dikeluarkan ini membutuhkan waktu agar setiap pelaku usaha dapat merasakan manfaat dari kebijakan tersebut.
Apabila Indonesia terburu-buru masuk ke dalam TPP, dikhawatirkan paket kebijakan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik dan maksimal, mengingat tenggat waktu bagi pelaksanaan paket ekonomi dan pernyataan Presiden terhadap minatnya dalam TPP sangat singkat.
Padahal, analisis menyeluruh terhadap kompetitor, seperti: Vietnam –yang menempati peringkat ke-78 dalam kemudahan berbisnis dibanding Indonesia yang menempati peringkat ke-114 belum dilakukan secara mendetail.
Pernyataan Presiden Jokowi dalam kunjungan terkesan memberikan gambaran bahwa Indonesia agak terburu-buru dan sembrono dalam menyatakan keinginannya memasuki TPP.
Dibanding tergesa-gesa menyatakan keinginan untu masuk ke dalam TPP, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan oleh Presiden Jokowi. Pertama, Indonesia seyogyanya dapat memfokuskan diri kepada persiapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. MEA memiliki potensi perdagangan sebesar US$1 triliun yang akan naik secara berkala, dengan total Gross Domestic Products (GDP) sebesar US$ 2,5 triliun.
Dengan MEA, Indonesia dapat memaksimalkan keuntungan dari perdagangan dalam ruang lingkup regional terlebih dahulu, sebelum berfokus ke ruang lingkup yang lebih internasional. Hal ini penting untuk menjadi tolak ukur kesuksesan Indonesia, apabila di kemudian hari Indonesia akhirnya bergabung ke TPP.
Kedua, Indonesia perlu mengkaji lebih lanjut penyesuaian aturan-aturan, baik dari MEA ataupun TPP sebelum menyatakan keinginannya untuk bergabubg ke TPP. Hal ini bertujuan untuk mencegah tumpang tindih antar aturan-aturan MEA ataupun TPP itu sendiri yang berpotensi merugikan pelaku industri dalam negeri.
Selain itu, mengingat bahwa TPP berpotensi melanggengkan keran impor, Indonesia perlu membangun fundamental ekonomi yang lebih kuat dengan mengurangi impor terlebih dahulu. Hal ini penting untuk memberikan demi memenuhi janji kampanye Presiden Jokowi yang tertuang dalam Nawacita poin keenam, yakni: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
Ketiga, Indonesia perlu memperjelas kembali posisi Indonesia dalam konstelasi politik global. Pemerintah Indonesia perlu mengkaji lebih dalam keuntungan strategis Indonesia dalam setiap kerjasama yang dijalankan Indonesia, dengan tidak melanggar prinsip Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif. Hal ini penting untuk memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki integritas dalam melaksanakan prinsip Politik Luar Negerinya.
Setelah menimbang-menimbang kondisi Indonesia saat ini, lantas apa alasan Presiden Jokowi menyatakan keinginannya untuk bergabung ke TPP?
Kevin Tan
Staf Khusus DPR dan Pendiri serta Presiden IndonesiaBerbicara. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis. (yns/yns)