Abdul Manap Pulungan
Abdul Manap Pulungan
Penulis adalah peneliti bidang ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef)

Saatnya BI Turunkan Suku Bunga Acuan

Abdul Manap Pulungan | CNN Indonesia
Selasa, 17 Nov 2015 13:47 WIB
Bank Indonesia memiliki ruang yang cukup besar untuk menurunkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur November ini untuk picu pertumbuhan.
(Ilustrasi/CNN Indonesia/Safir Maki)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Perkembangan ekonomi nasional mulai memasuki babak akhir 2015. Sayangnya, berbagai indikator makro ekonomi belum menunjukkan hasil memuaskan. Pada kuartal III 2015, perekonomian terbesar ke-16 dunia ini hanya mampu tumbuh 4,73 persen dari tahun sebelumnya. Angka ini jauh dari pertumbuhan potensial yang telah dicapai tahun-tahun sebelumnya.

Output perekonomian yang melemah pada tahun ini tak lepas dari pengaruh faktor internal maupun eksternal. Dari dalam negeri, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada akhir 2014 imbasnya masih terasa hingga 2015. Keputusan tersebut menekan daya beli konsumen dan mendongkrak biaya produksi produsen.

Sementara dari faktor eksternal, ekonomi Garuda terguncang oleh depresiasi nilai tukar rupiah, terutama karena ketidakjelasan rencana penaikan suku bunga The Fed. Nilai tukar yang berfluktuasi kencang menyebabkan makroekonomi tidak mampu bergerak lebih cepat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di luar itu, ada faktor defisit neraca transaksi berjalan serta perlambatan ekonomi China yang turut memperlemah.

Di sisi lain, depresiasi nilai tukar memicu lonjakan inflasi, terutama yang bersumber dari sisi permintaan (demand pull inflation). Padahal inflasi saat itu sudah tinggi karena keputusan menaikkan harga BBM.

Sebetulnya, ketika nilai tukar tidak memanas inflasi inti relatif adem ayem. Ironisnya, Rupiah bergerak tak tentu arah dan diikuti dengan inflasi yang memanas. Kondisi itu membatasi ruang gerak otoritas moneter untuk memotong suku bunganya (BI rate).

BI Rate Enggan Turun

Data historis bank sentral menunjukkan, BI rate sempat memasuki tren penurunan pada periode 2011 hingga 2012, sebelum kembali merangkak naik pada tahun-tahun berikutnya. Saat itu, perekonomian global sangat lesu sehingga BI memiliki ruang untuk memainkan kebijakan suku bunganya.

Menjelang pertengahan 2013, kondisinya berbalik. BI memutuskan menaikkan BI rate karena rupiah terperosok cukup dalam dan inflasi mulai meningkat karena dibayangi ekspektasi rencana penaikan harga BBM.

Pada November 2013, bank sentral kembali menaikkan suku bunga acuan karena muncul kekhawatiran defisit neraca transaksi berjalan akan memburuk. Akhirnya, BI rate bertengger tak bergerak di level 7,5 persen sejak Desember 2013 hingga Oktober 2015.

Perlu dipahami bahwa keputusan untuk mengoreksi BI rate harus sangat mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik dan global.

Beberapa faktor yang menghambat dari sisi domestik adalah dampak kenaikan harga BBM pada November 2014 terhadap inflasi yang baru hilang pada Oktober 2015.

Disini muncul dilema karena jika BI rate turun sebelum pengaruh inflasi BBM hilang, akan memancing potensi inflasi baru seiring dengan meningkatnya jumlah uang beredar melalui aktivitas pembiayaan.

Hambatan lain untuk memangkas BI rate terkait dengan pengelolaan referensi investor.

Menurunkan suku bunga acuan saat tingkat inflasi masih tinggi, tentu akan berdampak pada penurunan suku bunga riil. Ketika suku bunga riil negatif, muncul kecenderungan investor lari dari Indonesia. Situasi tersebut akan berdampak pada kondisi makroekonomi terutama nilai tukar.

Sementara dari faktor eksternal, ketidakpastian Bank Sentral AS menaikkan The Fed rate hingga Oktober turut menyita perhatian BI. Padahal kabar itu telah berhembus kencang sejak akhir 2014 dan menyebabkan kejatuhan Rupiah yang cukup dalam. Untuk mengurangi dampak yang lebih besar, bank sentral perlu menahan BI rate agar investor tidak lari dari Indonesia, sehingga nilai tukar tidak terjun bebas.

Fakta berikut yang menjadi pertimbangan adalah defisit neraca transaksi berjalan yang masih tinggi, sampai akhir paruh pertama tahun ini berada di angka 2,05 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit neraca transaksi berjalan bermakna: dana valas yang masuk ke domestik jauh lebih rendah dibandingkan dengan dana yang keluar. Artinya, pasokan valas tak kunjung meningkat akibat kinerja ekspor yang melandai. Sebaliknya, kebutuhan valas meningkat untuk membiayai impor dan membayar utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo.

Ruang Menurunkan BI Rate

Ruang untuk menurunkan BI rate sekarang sebenarnya sudah terbuka. Bank sentral sudah sepatutnya segera melonggarkan kebijakan moneter karena inflasi akibat penaikan harga BBM sudah hilang pada Oktober 2015 dan kembali pada titik alaminya.

Tekanan nilai tukar pun semakin mereda, karena arah kebijakan The Fed mulai terbaca. Dapat dipastikan bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya hingga akhir 2015. Diharapkan defisit neraca transaksi berjalan membaik agar koreksi BI rate dapat dilakukan lebih maksimal.

Ekonomi China pun masih belum bangkit. Dengan demikian permintaan terhadap barang dan jasa (terutama komoditas mentah) tidak akan beranjak tajam.

Semua itu dilengkapi dengan perkembangan harga komoditas yang terus anjlok, terutama harga minyak dunia yang terjun bebas hingga di bawah US$50 per barel. Apabila tidak ada tekanan tiba-tiba, maka inflasi dari sisi impor (imported inflation) masih akan cenderung melemah.

Selain beberapa alasan di atas, argumen lain BI rate perlu turun adalah karena suku bunga Indonesia paling tinggi di antara suku bunga bank sentral negara lain. Suku bunga India turun dari 7,75 persen pada Januari 2015 menjadi 6,75 persen pada September. Sedangkan China turun dari 5,6 persen menjadi 4,6 persen.

Dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan negara lain, dapat dipastikan sektor keuangan nasional akan tetap dangkal.

Koreksi BI rate akan menggairahkan sektor rill melalui koreksi harga dana sektor perbankan (cost of fund). Dengan demikian, kita masih bisa menggenjot penyaluran kredit pada paruh terakhir 2015. Harapannya, ekonomi bisa tumbuh minimal 5 persen pada akhir tahun. (yns)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER