Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan tambang batubara asal India, India Metals & Ferro Alloys (IMFA) menggugat Pemerintah Indonesia di Mahkamah Abitrase Internasional terkait tumpang tindih izin konsesi lahan tambang.
IMFA menuntut ganti rugi sebesar US$ 581 juta atau setara dengan Rp 7,9 triliun menyusul tumpang tindih tujuh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten dan Provinsi di wilayah Barito Timur, Kalimantan.
"Mereka sudah tahap IUP produksi, tapi ternyata lahannya tumpang tindih," kata Heriyanto, Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Rabu (18/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Heriyanto mengungkapkan, IMFA tercatat mengelola lahan seluas 3.600 hektar yang hak konsensinya dibeli dari PT Sri Sumber Rahayu Indah pada 2010 senilai US$ 8,7 juta. Apabila merunut sejarahnya, IUP SRI diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Timur pada 2006.
Menurutnya, permasalahan muncul saat lahan yang dibeli IMFA berbenturan izin konsesinya dengan beberapa perusahaan lain yang juga mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
"Jadi indikasinya IUP yang diterbitkan Pemda ini melangar ketentuan clean and clear (C&C). Jelas ini preseden buruk bagi perusahan non CNC yang dibeli perusahaan asing," kata Herdiyanto.
Namun, Heriyanto menegaskan permasalahan tumpang tindih izin konsesi lahan ini bukan kesalahan pemerintah pusat. Terlebih, IMFA tidak melakukan legal audit sebelum menguasai IUP milik PT Sri Sumber Rahayu Indah.
"Dan mereka tidak bertanya ke pemerintah (pusat). Dari sini pemerintah bisa bantah karena yang salah pemerintah daerah," kata Herdiyanto.
Gugatan IMFA sudah masuk ke meja peradilan Arbitrase pada 23 September 2015. Sesuai jadwal, pemerintah akan hadir pada sidang perdana di pengadilan Arbitrase Singapura pada 6 Desember 2015.