Purbaya Yudhi Sadewa
Purbaya Yudhi Sadewa
Penulis adalah Doktor ekonomi lulusan Purdue University, Indiana Amerika Serikat. Mantan Direktur Danareksa Research Institute dan Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis Kantor Staf Kepresidenan. Dan pernah bekerja sebagai staf khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

Independensi BI Bukan Berarti Tak Ada Sinergi

Purbaya Yudhi Sadewa | CNN Indonesia
Rabu, 18 Nov 2015 17:17 WIB
Undang-Undang BI yang mengatur independensi otoritas moneter tidak menutup kemungkinan langkah yang bersinergi dengan kebijakan fiskal pemerintah.
(Ilustrasi/CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika perekonomian suatu negara sedang melambat atau sedang mengalami resesi, adalah hal yang wajar bila otoritas moneter dan fiskal negara tersebut berusaha semaksimal mungkin memberi stimulus ke perekonomiannya agar terhindar dari keterpurukan yang dalam.

Di Amerika Serikat, ketika perekonomian mereka terpuruk ke masa resesi di tahun 2008, bank sentral negara tersebut (the Fed) segera menurunkan suku bunga acuannya hingga mendekati nol persen. Tidak berhenti di sini saja, the Fed bahkan menggelontorkan uang secara besar-besaran melaui kebijakan yang disebut quantitative easing.

Hal yang serupa dilakukan juga oleh bank sentral Eropa, yang sudah menurunkan suku bunga ke level yang rendah, dan saat ini sedang menggelontorkan uang ke perekonomian mereka. Bank sentral India pun sudah menurunkan suku bunga beberapa kali untuk mendorong perekonomiannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah-langkah dari sisi moneter yang disebutkan di atas didukung pula oleh kebijakan fiskal yang ekspansif. Hal ini, antara lain, terlihat dari defisit anggaran negara-negara tersebut yang cenderung masih besar baik untuk pembangunan infrastruktur maupun untuk kegiatan investasi lainnya yang dapat meningkatkan aktivitas perekonomian.

Seperti kita ketahui, perekonomian Indonesia sudah memasuki masa perlambatan yang cukup serius. Pada triwulan kedua 2015 ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,67 persen. Dengan upaya dari pemerintah yang cukup keras barulah kita bisa menghindari keterpurukan lebih lanjut. Pada triwulan ketiga 2015 ekonomi kita tumbuh 4,73 persen, lebih cepat dari pada triwulan sebelumnya.

Pemerintah juga tampak sudah berupaya memberi dorongan tambahan ke perekonomian dengan menerbitkan berjilid-jilid paket kebijakan, yang secara berangsur-angsur diharapkan dapat meningkatkan aktivitas perekonomian.

Sayangnya, upaya untuk meningkatkan aktivitas perekonomian yang dilakukan masih timpang. Sisi moneter kita, yaitu Bank Indonesia, masih belum mau turun tangan lebih serius untuk memberi ruang bagi perekonomian agar tumbuh lebih cepat.

BI rate masih berada pada level yang tinggi, dan BI masih enggan melonggarkan kebijakan moneternya. Bahkan, BI masih terkesan mau menjaga kebijakan moneter yang cenderung ketat (suku bunga di pasar cenderung tinggi, BI rate tidak kunjung diturunkan dari 7,5 persen, laju pertumbuhan uang (MO) masih amat rendah, dan pertumbuhan kredit hanya sekitar 10 persen). Bank sentral kita seolah-olah hidup di dunianya sendiri, dan tampak kurang memperhatikan kesulitan yang dialami oleh masyakarat karena melambatnya perekonomian.

Apabila hal ini tidak segera diubah, rasanya ke depan tidak terlalu mudah bagi ekonomi kita untuk tumbuh lebih cepat lagi.

Perbedaan respon kebijakan antara BI dengan pemerintah yang ada membuat kita bertanya-tanya akan sinergi kebijakan kedua otoritas tersebut. Independensi bank sentral seringkali digunakan sebagai alasan dibalik terjadinya respon kebijakan BI yang agak ganjil tersebut.

Independensi BI

Di banyak negara-negara di dunia, bank sentral sengaja dibuat independen dari pemerintah agar keputusan kebijakan moneternya (yang terkadang memiliki dampak jangka panjang) dapat terhindar dari kebijakan yang bernuasana politik pemerintah, yang seringkali mementingkan dampak jangka pendek.

Independensi BI dijamin oleh undang-undang. Bahkan ada yang menterjemahkan bahwa: berkaitan dengan status sebagai lembaga independen ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya (dari pasal 9 UU No.23/1999).

Dari kata-kata di atas memang secara gamblang terlihat bahwa tidak boleh ada campur tangan sama sekali terhadap kegiatan yang dilakukan oleh BI. Lalu, apakah ini berarti BI boleh berjalan sendiri tanpa memperhatikan pemerintah sama sekali? Atau tanpa memperhatikan kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat?

Kalau memang demikian, wajar saja kalau hingga saat ini BI tidak memperhatikan masukan dari pihak di luar BI, bahkan dari pemerintah.

Aneh sekali kalau kita memang memiliki undang-undang yang demikian, karena akan sulit mengharapkan ada kebijakan BI dan pemerintah yang selaras dan optimal. Padahal dalam keadaan yang mendesak sinergi kebijakan fiskal dan moneter amat diperlukan untuk menghindari perlambatan yang parah ataupun resesi. Tanpa perbaikan sinergi kebijakan BI dengan pemerintah, kita akan sulit untuk keluar dari kelesuan ekonomi yang sedang kita alami saat ini.

Namun, undang-undang bank sentral kita tidak sekonyol itu karena di dalamnya ada pasal-pasal yang memungkin terciptanya sinkronisasi kebijakan BI dengan pemerintah. Hal tersebut, antara lain, tercantum dalam UU No.23/1999 pasal 23 ayat 1 butir a, yang berbunyi: 

Rapat Dewan Gubernur diselenggarakan :

a. Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dapat dihadiri oleh seorang menteri atau lebih yang mewakili Pemerintah dengan hak bicara tanpa hak suara;

Artinya, undang-undang menyediakan ruang yang cukup bagi otoritas moneter dan untuk menyamakan persepsi. Walaupun hanya memiliki hak bicara dalam Rapat Dewan Gubernur, perwakilan dari pemerintah dapat dengan gamblang menyuarakan kecemasan mereka (kalau ada) maupun untuk dapat memahami situasi kebatinan yang terjadi pada saat gubernur dan para deputi gubernur BI mengambil keputusan.

Sebaliknya, BI pun dapat mendengar dengan lebih baik hal-hal yang menjadi pertimbangan pemerintah mengenai kondisi perekonomian ataupun upaya-upaya yang sedang dilakukan pemerintah. Forum yang disedikan oleh undang-undang tersebut dipastikan akan memberikan wibawa yang lebih besar untuk menciptakan ruang bagi terjadinya kebijakan yang lebih bersinergi.

Selama ini pemerintah tidak pernah mengirimkan wakilnya dalam rapat dewan gubernur BI yang menentukan kebijakan umum di bidang moneter. Memang, ada pertemuan berkala antara pemerintah dengan BI. Namun, pertemuan tersebut cenderung terlalu normatif dan hanya bersifat tukar-menukar informasi dan penjajakan saja. Wibawa suara pemerintah di dalam rapat dewan gubernur akan jauh lebih tinggi dari suara dalam pertemuan berkala tersebut.

Kehadiran perwakilan pemerintah dalam rapat dewan gubernur bank sentral bukanlah praktek baru di dalam sistem moneter dunia.

Sebagai contoh, Jepang melakukan hal yang serupa. Di Jepang, selain berhak untuk berbicara dalam rapat dewan gubernur, wakil yang ditunjuk untuk mewakili pemerintah bahkan dapat meminta untuk menunda pelaksanaan hasil keputusan rapat dewan gubernur sampai ke satu rapat berikutnya.

Perlu dikemukakan di sini bahwa salah satu dampak kebijakan dari Abenomics adalah memompa uang dalam jumlah besar ke dalam perekonomian, yang dilakukan oleh bank sentral negara tersebut. Tanpa koordinasi yang baik antara otoritas moneter dengan otoritas fiskal, Abenomics hampir pasti tidak dapat dijalankan.

Peluang untuk menciptakan kebijakan moneter yang lebih bersinergi dengan kebijakan fiskal di Indonesia juga dimungkinkan oleh UU No.3/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Antara lain dalam:

Pasal 4, ayat (2):

Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 7, ayat (2):

Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.

Jadi, sebenarnya undang-undang bank sentral kita memberikan ruang bagi satu sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal.

Pasal 4 ayat (2) di atas mengisyaratkan bahwa independensi BI bukanlah independesi mutlak, karena masih ada pengecualian dari independensi tersebut.

Selain itu, pasal 7 ayat (2) di atas dengan gamblang menyebutkan bahwa BI juga harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah, tidak berjalan semaunya sendiri. BI juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan moneter terhadap perkembangan perekonomian nasional, termasuk sektor riil.

Ke depan, untuk meningkatkan sinergi kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter, sudah saatnya pemerintah mengirimkan satu atau beberapa orang menteri untuk mengikuti rapat dewan gubernur BI yang memutuskan kebijakan moneter (seperti suku bunga).

Selain itu, BI juga harus mulai memperhatikan arah kebijakan ekonomi pemerintah, dan arah ekonomi secara keseluruhan.

BI bukanlah suatu institusi yang lepas dari negara ini. BI harus membuat kebijakan yang selaras dengan kebijakan pemerintah, selama kebijakan tersebut diarahkan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (bukan untuk kepentingan politik jangka pendek semata). (dlp)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER