Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah telah meyangkan surat peringatan ke PT Freeport Indonesia (PTFI) mengingat sampai detik ini perusahaan emas terbesar di dunia itu belum mengajukan penawaran harga saham. Padahal, pada Oktober 2015 Freeport seharusnya sudah melepas 10,64 persen sahamnya ke pemerintah sesuai dengan komitmen divestasi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot mengatakan, anak perusahaan tambang mineral AS tersebut berkilah masih harus melakukan perhitungan harga saham yang wajar. Selain itu, katanya, Freeport beralasan masih harus menunggu ketetapan mekanisme divestasi melalui skema penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO).
"Untuk divestasi memang tidak diatur batas waktu. Tapi saya sudah ketemu dengan Freeport dan bilang mereka harus tawarkan. Sudah ada surat peringatan juga," ujar Bambang di kantornya, Rabu (18/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Freeport diwajibkan melepas 30 persen sahamnya kepada pemerintah atas badan usaha nasional karena masuk kategori perusahaan tambang bawah tanah.
Sejauh ini, pemerintah baru mengantongi 9,36 persen saham Freeport, sehingga perusahaan tersebut masih harus melepas 20,64 persen sahamnya dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada Oktober 2015 sebesar 10,64 persen saham guna menggenapi kewajiban divestasi hingga 20 persen. Sementara sisa saham sebesar 10 persen, harus kembali ditawarkan pada 2019.
"Mereka masih hitung berdasarkan asumsi mereka, perkembangan harga sampai ke depan seperti apa. Tim pemerintah akan lakukan hitungan dengan tim untuk tahu fair value seperti apa. Kalau sudah ketemu satu angka akan dikirim ke menteri keuangan untuk tetap kan siapa yang beli," tutur Bambang.
Tidak Bisa IPODalam dokumen perpanjangan Kontrak Karya Freeport yang diteken pada 1991, mekanisme divestasi tidak hanya terbatas pada pembelian saham secara langsung oleh pemerintah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), atau perusahaan swasta nasional, namun juga dilegalkan melalui IPO di pasar modal.
Pasal 24 ayat (2) huruf b KK yang diteken mantan Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita dan mantan Presiden Direktur Freeport Indonesia Hoediatmo Hoed tersebut, Freeport seharusnya mulai melepas 10 persen sahamnya melalui IPO pada 2001.
Sementara dalam huruf b pasal yang sama, Freeport juga disebut dapat menerbitkan saham sekurang-kurangnya 20 persen melalui BEI paling lambat mulai 2011, atau 20 tahun setelah KK ditandatangani.
"Kami masih berpengangan pada PP 77/2014. Jadi perlu kami jelaskan bahwa hukum positif IPO belum bisa dilakukan karena memang belum ada aturan dasar. Sepanjang itu belum ada kita lakukan proses divestasi sesuai dengan aturan perundangan yang ada," ujar Bambang.
Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said lebih condong memilih mekanisme divestasi saham Freeport melalui IPO. Tujuannya agar kinerja perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu bisa langsung diawasi oleh publik demi menjaga transparansi, akuntabilitas serta memperdalam pasar.
"Kalau masuk perusahaan-perusahaan besar ke pasar modal, saya kira dinamikanya akan berbeda dan bagaimana pun pasar modal itu lebih jauh transparan dan bisa dilihat masyarakat," ujar Sudirman beberapa waktu lalu.
(ags)