Investasi Panas Bumi Terganjal Rendahnya Harga Uap dan Tarif

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Senin, 21 Des 2015 09:08 WIB
Jika tidak mendapat perhatian pemerintah, METI menilai pemanfaatan energi panas bumi RI tidak akan bisa optimal karena investor enggan menanamkan modal.
Jika tidak mendapat perhatian pemerintah, METI menilai pemanfaatan energi panas bumi RI tidak akan bisa optimal karena investor enggan menanamkan modal. (Dok. PGE)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai rendahnya harga jual uap dan listrik panas bumi menjadi ganjalan utama para investor untuk menanamkan modalnya di energi baru terbarukan tersebut. Jika tidak diperhatikan pemerintah, pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia tidak akan bisa dioptimalkan.

METI mencatat dari potensi panas bumi sebesar 28.910 Megawatt (MW), yang baru dikembangkan sampai saat ini kurang dari 2 ribu MW atau hanya sekitar 5 persen dari total potensi yang dimanfaatkan untuk listrik. Padahal, jika potensi panas bumi itu dimaksimalkan, setara dengan penggunaan 219 miliar barel minyak untuk pembangkit listrik.

Ketua METI Suryadarma menilai dalam proses negosiasi harga listrik panas bumi, Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman ketika terjadi krisis ekonomi 1998. Ketika itu karena kondisi ekonomi, harga listrik panas bumi dinegosiasikan dari semula US$ 8 sen per kilowatthour (kWh) menjadi US$ 4,2 sen per kWh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Setelah kondisi kembali normal ternyata susah sekali mau naik lagi terlebih dengan adanya single buyer dalam hal ini PT PLN (Persero),” kata Suryadarma, Senin (21/12).

Persoalan harga uap dan tarif listrik panas bumi mencuat setelah PLN tak bersedia melanjutkan kesepakatan awal yang telah dibuat dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero). Padahal, PLN dan PGE sebelumnya telah meneken kesepakatan interim yang akan berakhir pada 31 Desember 2015.

Kesepakatan tersebut meliputi perjanjian jual beli uap (PJBU) Kamojang unit 1, 2, dan 3 di Bandung, Jawa Barat dan Lahendong unit 1, 2, 3, 4 di Sulawesi Utara serta perjanjian jual beli listrik dari Kamojang unit 4.

Dalam kesepakatan interim disebutkan bahwa harga jual beli uap dan listrik panas bumi milik PGE berkisar US$ 6-9 sen per kWh, meskipun PGE ingin memperoleh harga di atas kesepakatan karena harus menyediakan biaya perawatan dan juga eksplorasi sumur baru. Namun, manajemen PLN malah mengusulkan penurunan harga menjadi US$ 2,9-3 sen per kWh.

Manajemen PLN dan PGE sendiri disebut telah bertemu pada pertengahan November lalu. Dalam pertemuan itu manajemen PLN malah tak bersedia memperpanjang kesepakatan interim. Akibatnya PJBU Kamojang dalam waktu dekat akan berakhir, sedangkan PJBU Lahendong 1-4 dan PJBL Kamojang 4 kembali ke kontrak awal PJBU/PJBL.

Tak Punya Pilihan

Suryadarma menjelaskan, perusahaan panas bumi menjadi tidak ada pilihan selain menyepakati harga yang ada. Kondisi ini dinilainya akan menjadi pertimbangan utama investor ketika menghitung rencana investasi panas buminya di Indonesia.

“Masa kita mau mengulangi lagi sekarang dengan menurunkan harga listrik panas bumi ke level yang lebih rendah,” katanya.

Menurut dia, selama ini PGE yang paling banyak mengembangkan wilayah kerja panas bumi miliknya. Perusahaan lain masih belum terlihat kemajuannya karena persoalan harga.

“Jika harga menjadi tidak menarik maka potensi ini semakin tidak menarik untuk dikembangkan. Bisa saja harga harga ini menjadi referensi bagi yang lain,” katanya.

Terkait harga jual uap dan listrik dari panas bumi, METI mengusulkan kepada pemerintah agar mekanisme penetapan harganya tidak dikembalikan kepada negosiasi bisnis antara perusahaan pembeli dan penjual. Suryadarma meminta perlunya intervensi pemerintah karena karakateristik investasi di energi panas bumi sangat besar di awal.

“Dalam penentuan harga tidak tidak bisa diserahkan pada mekanisme bisnis. Energi terbarukan memiliki keunggulan dari sisi lebih bersih dan terbarukan. Pemerintah harus terlibat dalam penyelesaian soal harga karena selama ini pun harga yang sudah ditetapkan dalam regulasi pun sepertinya sulit dilaksanakan,” ujarnya.

Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, mengatakan untuk proyek existing yang dimiliki PGE saat ini dalam proses negosiasi secara bisnis (business to business/B to B) dengan PLN. “Pemerintah memfasilitasinya, termasuk melalui verifikasi oleh BPKP,” katanya. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER