Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dinilai telah menghilangkan momentum memungut dana ketahanan energi (DKE) akibat logika hukum yang lemah dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Mantan bos PT Pindad (Persero) tersebut dinilai terlalu bersemangat dan terburu-buru mewacanakan pungutan DKE padahal belum memiliki landasan hukum yang kuat.
Ahmad Redi, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara mengakui bahwa DKE dapat menjamin ketersediaan energi dan menjamin akses masyarakat terhadap harga energi yang terjangkau dengan tetap mempertahankan perlindungan lingkungan hidup.
Namun, aksi Menteri Sudirman yang mengumumkan wacana tersebut pertama kali pada 23 Desember 2015 tanpa mempersiapkan landasan hukum yang diperlukan membuat pemerintah terlihat mencla-mencle. Padahal DKE dijadwalkan dikutip bersamaan dengan penetapan harga baru bahan bakar minyak (BBM) yang dijual PT Pertamina (Persero) mulai hari ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Rencana kebijakan tersebut dimentahkan sendiri oleh Pemerintah melalui pengumuman dari Direktur Pertamina tadi malam, yang juga dihadiri oleh Menteri Sudirman Said. Praktik
mencla-mencle mirip
dagelan ini, jelas bukanlah praktik pengurusan negara yang baik dan benar,” ujar Redi, Selasa (5/1).
Meskipun rakyat merasa senang harga BBM yang baru tidak ditambahkan pungutan DKE yang menjadikannya lebih mahal, namun menurut Redi kegaduhan yang dimunculkan oleh tindakan sang menteri teknis seharusnya tidak perlu terjadi. Ia mengatakan di tahun pertamanya berkuasa, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) belum terbiasa membuat
cost benefit analysis yang mumpuni sebelum merilis suatu rencana kebijakan ke publik sehingga potensi resistensi akan dapat diminimilisir.
“Bukan sebaliknya persoalan yang sederhana namun karena dibungkus dengan irasionalitas maka akan menjadi persoalan kompleks. Rakyat sebagai sasaran kebijakan jangan seolah-olah dipermainkan dengan kebijakan yang
mencla-mencle dan membuat gaduh banyak kalangan,” tegasnya.
Landasan HukumMenyoroti sempat digunakannya Pasal 30 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi oleh Menteri ESDM sebagai landasan hukum memungut DKE, Redi menegaskan banyak logika hukum yang harus diluruskan dari sang menteri.
Pertama, pendanaan yang dimaksud dalam Pasal 30 UU Energi digunakan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi bukan untuk pemanfaatan energi.
“Artinya dalil Menteri Sudirman Said bahwa DKE bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur di sektor energi misalnya pembangunan infrastruktur kelistrikan untuk menerangi lebih dari 12.500 desa terpencil di seluruh Indonesia, merupakan argumentasi yang tidak tepat,” jelasnya.
Jika pemerintah menyebut DKE juga telah diatur dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional maka skema pungutan DKE harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal:
1. Peran perbankan nasional dalam pembiayaan kegiatan;
2. Penerapan premi pengurasan energi fosil untuk pengembangan energi, dan/atau
3. Penyediaan alokasi anggaran khusus oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk mempercepat pemerataan akses listrik dan energi.
“Semua itu tentunya harus diperjelas dengan peraturan operasional mengenai pendanaan tersebut, khusunya mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pengelolaannya yang harus mengikuti rezim keuangan dan perbendaraan negara,” jelasnya.
Kedua, Redi menyoroti kelemahan logika hukum Menteri Sudirman Said dalam wacana DKE. Ia mengatakan Pasal 30 UU Energi mengatur bahwa pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta.
Frasa ‘antara lain’ diakui Redi memang memberikan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencari pendanaan lain selain sumber APBN, APBD, dan swasta.
“Namun dalam skema pendapatan negara, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatakan pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP), dan hibah. Lalu pertanyaannya, diletakan di klaster mana DKE tersebut? Padahal UU Keuangan Negara hanya membagi klasifikasi pendapatan negara ke dalam tiga jenis pendapatan,” ujarnya.
Jika DKE masuk dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun pemerintah belum menerbitkan Peraturan yang menetapkan jenis dan tarif PNBP DKE tersebut.
“Sehingga, apabila Menteri Sudirman Said berkeinginan memungut dana ketahanan energi maka harus dilakukan reformulasi norma dalam Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang Berlaku Pada Kementerian ESDM,” katanya.
Akibat kecerobohan tersebut, Redi memastikan hal tersebut menambah beban kerja Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang harus mengoreksi kebijakan menteri-menterinya kembali.
“Sebaiknya dalam mengambil kebijakan publik, para menteri harus berpikir secara paripurna sebelum merilis dan mengeksekusi suatu rencana kebijakan. Bukan sebaliknya menggunakan logika action dulu baru berpikir. Kasihan rakyat Indonesia, terlalu sering dibuat gaduh,” kata Redi.
(gen)