Jakarta, CNN Indonesia --
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkukuh menolak rencana keikutsertaan pemerintah Indonesia dalam kerjasama Trans Pacific Partnership Agreement (TPP) yang diwacanakan sejak akhir tahun lalu.
Ketua Komisi VI DPR RI, Achmad Hafisz Tohir berpendapat penolakan terhadap rencana pemerintah didasarkan pada klausul dokumen TPP yang menyatakan bahwa dengan masuknya Indonesia ke dalam TPPA, maka Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan dianggap setara dengan perusahaan swasta.
Dengan ketentuan tersebut kata Hafisz, maka BUMN sudah tidak lagi menyalurkan subsidi dan diawasi ketat dan diintervensi pemerintah atau menyalahi
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya pasal 33."Bagaimana mungkin BUMN yang diberikan penugasan dari negara untuk mengamanatkan UUD 1945 jadi lembaga yang diprivatisasi? Nanti mereka menjalankan usaha bisa tidak sesuai dengan tujuan, contohnya saja PT PLN yang nantinya harus menyediakan listrik dengan harga berlaku bukan harga bersubsidi," jelasnya di Jakarta, Kamis (4/2).
Menyusul rencana masuknya Indonesia ke dalam TPP, Hafisz berpendapat jika sampai akhirnya pemerintah tak jadi melakukan hal tersebut maka sebagai konsekuensi Indonesia akan dianggap menyalahi peraturan dan bisa digugat ke dalam Investor-State Dispute Settlemet (ISDS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karenanya, kata dia pemerintah perlu menimbang untung-rugi mengenai keikutsertaan TPP dan jangan tergesa-gesa bergabung ke dalamnya.
"Kalau saat ini, kami nyatakan tidak setuju untuk TPPA. Apalagi kalau bergabung dengan TPP, maka akan ada sinkronisasi beberapa perundang-undangan yang ada. Kami menghitung, setidaknya ada 12 UU yang perlu direvisi jika TPP ini jadi diimplementasikan," jelasnya.
Dalam pandangan Hafisz, beberapa UU yang akan direvisi meliputi UU Penanaman Modal, Persaingan Usaha, Koperasi, BUMN, hingga Keuangan Negara.
Ia mengatakan, tahun ini sendiri komisi VI akan menyelesaikan UU Persaingan Usaha dan UU BUMN namun belum tentu berisikan persetujuan klausul TPP.
"Kalau ingin bergabung dengan TPP, setidaknya kami butuh dua tahun agar peraturannya selesai. Sembari menunggu hal tersebut, pemerintah perlu menimbang tujuan bergabung dengan TPP, karena kalau sudah diimplementasikan, nanti ada privatisasi, pembukaan penanaman modal untuk asing, dan lainnya," jelas Achmad.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan keikutsertaan TPP masih sangat jauh dari kata sepakat karena masing-masing negara, terutama 12 negara pendiri belum meratifikasi klausul-klausul TPP secara penuh.
Terlebih, ia menyadari akan ada banyak UU yang direvisi untuk mendukung TPP.
"Itu kan ada intelectual property di dalamnya, sudah pasti akan berdampak ke UU terkait hal tersebut. Selain karena masalah penyelarasan UU, seluruh anggotanya kan belum meratifikasi," jelas Thomas ditemui di lokasi yang sama.
(dim)