Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan merampungkan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) baru yang mewajibkan industri untuk melaporkan kegiatan produksinya secara berkala. Hal ini dibuat demi mencegah kegiatan produksi berhenti secara mendadak dan investornya hengkang tiba-tiba dari Indonesia.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Haris Munandar mengatakan laporan itu bisa menjadi indikator sehat atau tidaknya sebuah perusahaan dari sisi industri. Karena menurutnya, selama ini belum ada kewajiban bagi perusahaan manufaktur untuk memberikan notifikasi jika perusahaan itu akan menutup produksinya.
"Memang tidak ada kewajiban, tapi memang biasanya perusahaan itu melapor kalau sudah tutup produksi. Sebetulnya hal itu bisa dicegah dengan pelaporan berkala, namun belum kami wajibkan. Dengan PP baru ini, nantinya bisa kami pantau perusahaan-perusahaan manufaktur yang sedang tidak sehat," jelas Haris di Jakarta, Jumat (5/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, PP ini merupakan turunan Pasal 64 Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian mengenai Sistem Informasi Industri Nasional (SIIN). Pasal tersebut menyatakan setiap perusahaan industri wajib menyampaikan data industri yang akurat, lengkap, dan tepat.
Haris menambahkan, PP itu nantinya berisi poin pelaporan seperti utilisasi industri, teknologi, kondisi tenaga kerja, dan poin-poin lainnya. Jika memang ada masalah, Kemenperin bisa dengan cepat memberi masukan kepada perusahaan yang dimaksud.
"Harusnya kalau laporannya rutin setiap enam bulan sekali bisa terlihat bagaimana keadaan perusahaan yang dimaksud. Selain itu, di dalam PP tersebut nantinya akan ada sanksi jika perusahaan manufaktur itu tidak mau melaporkan kegiatan produksinya ke kami," ujarnya.
Saat ini, Haris mengatakan PP itu masih dalam tahap harmonisasi dengan kebijakan lain dan diharapkan bisa keluar pada tahun ini. Namun, bukan berarti dengan pelaksanaan pelaporan berkala, penghentian produksi atau operasi industri bisa terdeteksi secara mudah.
"Karena penghentian produksi atau operasi di Indonesia itu ada yang bukan karena produktivitasnya. Bisa jadi itu karena keputusan manajemen yang mendadak. Atau mungkin kalau Penanaman Modal Asing (PMA), kadang keinginan perusahaan induknya di luar negeri yang ingin hentikan operasi," jelas Haris.
Sebagai informasi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang sebesar 4,57 persen dan industri kecil dan mikro sebesar 5,71 persen. Kontribusi industri pengolahan sendiri tercatat sebesar 20,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2015 dengan nilai Rp11.540 triliun secara harga nominal (nominal price).