Indonesia Minta Perancis Batalkan Pajak Impor Minyak Sawit

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Jumat, 05 Feb 2016 14:37 WIB
Pemerintah Perancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 300 euro per ton pada 2017, dan terus naik sampai 2020.
Pemerintah Perancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 300 euro per ton pada 2017, dan terus naik sampai 2020. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah mengirimkan surat khusus kepada Pemerintah Perancis yang meminta pembatalan pemberlakukan pajak minyak kelapa sawit (CPO) mulai 2017 yang dinaikkan secara progresif oleh Parlemen Perancis.

Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong mengungkapkan pajak minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen Nomor 367 seperti yang diadopsi oleh Majelis Tinggi Legislatif Perancis pada 21 Januari 2016 dianggap telah melanggar prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO) dan General Agrement on Tariff and Trade (GATT) buatan 1994 lalu.

“Saya paham, ini adalah wewenang Parlemen Perancis, namun saya meminta Pemerintah Perancis untuk tidak mengadopsi Amandemen Nomor 367. Sebaliknya, saya meminta Pemerintah Perancis agar dapat bekerja sama dengan Indonesia untuk mengatasi masalah yang terjadi di Perancis yang berkaitan dengan minyak kelapa sawit," tutur Thomas dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (5/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam amandemen Undang-Undang Keanekaragaman Hayati yang akan berlaku di awal 2017, Pemerintah Perancis akan mengenakan pajak atas minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 300 euro per ton pada 2017, kemudian naik menjadi 500 euro per ton pada 2018, meningkat menjadi 700 euro per ton pada 2019, serta naik menjadi 900 euro per ton pada 2020.

Padahal GATT 1994 Artikel III:2 telah mengatur bahwa produk impor, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak dapat dikenakan pajak internal atau biaya internal lainnya seperti produk dalam negeri.

Sementara itu, pada GATT Artikel XX memungkinkan negara anggota WTO untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tanaman, namun penerapannya tidak boleh memberikan pembenaran terhadap diskriminasi, atau pun pembatasan perdagangan internasional.

Tidak Tepat

Menurut Thomas, jika penerapan amandemen tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan, langkah ini dinilai tidak tepat.

"Indonesia telah mengambil kebijakan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (The Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan dan tidak memberikan kontribusi terhadap deforestasi dan perubahan iklim," ujarnya.

Selain itu, industri minyak kelapa sawit Indonesia juga berpartisipasi dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk memastikan minyak kelapa sawit Indonesia diproduksi sesuai standar untuk keberlanjutan.

Sedangkan jika terkait dengan isu kesehatan, Thomas memastikan hal itu tidak tepat. Studi terbaru menunjukkan bahwa konsumsi asam lemak jenuh dari minyak kelapa sawit tidak menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

"Jika ada pengaturan terkait konsumsi lemak jenuh, maka harus ditargetkan pada seluruh produk makanan yang mengandung lemak jenuh, baik minyak kelapa sawit, minyak nabati lainnya, atau lemak hewan," ujarnya.

Dikriminasi Harga

Menurut Thomas pemberlakuan pajak tersebut akan menciptakan diskriminasi harga yang akan merugikan Indonesia. Pasalnya, harga minyak kelapa sawit Indonesia menjadi tidak kompetitif.

"Pada akhirnya industri makanan di Perancis dan negara-negara Uni Eropa akan mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya yang harganya lebih murah," ujarnya.

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Secara langsung dan tidak langsung, sektor kelapa sawit menyerap 16 juta tenaga kerja di Indonesia dan memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen terhadap PDB Indonesia.

Sekitar 61 kota di Indonesia, termasuk kota-kota kecil, hidup dari penjualan minyak kelapa sawit. Selain itu, pendapatan ekspor Indonesia dari komoditas ini mencapai sekitar US$19 miliar per tahun.

"Mengingat peran strategis sektor minyak kelapa sawit dalam perekonomian, perlakuan diskriminatif di pasar ekspor akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi, sosial dan politik yang telah dibangun dan dipertahankan dengan susah payah sejak awal 2000-an," ujarnya.

Berdasarkan catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), nilai ekspor minyak sawit Indonesia tahun lalu hanya mencapai US$18,64 miliar atau turun 11,67 persen dibandingkan 2014 sebesar US$21,1 miliar. Kendati demikian secara volume, ekspor CPO dan turunannya mengalami peningkatan sebesar 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 26,4 juta ton.

Pengimpor minyak sawit Indonesia terbesar tahun lalu adalah India, negara-negara di Uni Eropa dan China. Volume ekspor minyak sawit Indonesia ke India sepanjang 2015 tercatat 5,8 juta ton atau naik 15 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 5,1 juta ton. Sementara, ekspor minyak sawit ke negara-negara di Uni Eropa mencapai 4,23 juga ton atau naik 2,6 persen dibandingkan tahun 2014. Permintaan ekspor minyak sawit ke China melonjak 64 persen dari 2,43 juta ton pada tahun 2014 menjadi 3,99 juta ton. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER