Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menyoroti sikap tak jelas mayoritas wakil rakyat di Senayan terkait kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (
Tax Amnesty). Dia menangkap ada upaya menunda pemberlakuan
tax amnesty melalui proses politik anggaran di parlemen.
Dengan adanya ketidakpastiaan tersebut, Yustinus mengkhawatirkan penurunan tingkat kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak (WP). Pasalnya, selama ini secara psikologis para WP sudah banyak berharap dari pemberlakuan pengampunan pajak.
"Saya mengkhawatirkan soal
trust wajib pajak ke pemerintah kalau
tax amnesty ini tertunda lagi atau malah batal dilakukan. Wajib pajak butuh kepastian, terutama yang akan merepatriasi dana dan informal sektor yang akan masuk ke sistem perpajakan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risiko Shortfall Apabila nantinya RUU
tax amnesty gagal diundangkan, Yustinus mengingatkan pemerintah agar mengatisipasi skenario terburuk dari upaya mengemban amanat perpajakan.
Risiko yang mungkin terjadi, katanya, kemungkinan besar target asumsi dan penerimaan negara yang dipatok di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 akan meleset.
"Semua kalkulasi ekonomi 2016 bisa saja meleset.
Tax amnesty yang diperkirakan bisa menutup
shortfall, skema repatriasi yang bisa menarik dana dari luar negeri dan akan menambah likuiditas, suku bunga turun, rupiah menguat dipastikan berubah," ujarnya.
Berdasarkan diskusinya dengan Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Yustinus mengatakan potensi penerimaan pajak dari pemberlakuan
tax amnesty sekitar Rp60 triliun. Sumbangan dari itupun dinilai belum cukup untuk menutup potensi
shortfall yang akan terjadi pada tahun ini.
"Yang saya dengar target penerimaan pajak akan diturunkan Rp100 triliun, jadi dari Rp1.360 triliun menjadi Rp1.260 triliun. Itu sudah termasuk
tax amnesty," katanya belum lama ini.
Ia menilai, saat ini WP dan pemerintah hanya bisa mengamati dan menunggu sikap negarawan para politisi Senayan. Sementara di sisi lain, tahun ini upaya penegakan hukum akan tetap dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
"Ada risiko
kucing-kucingan, kalau ini terhadi skenarionya jadi sama-sama kalah, malah semua dirugikan. Padahal harapan ke depan adalah membangun sistem pajak baru yang didukung tingkat kepatuhan yang tinggi," jelasnya.
Menurutnya, upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan otoritas pajak saat ini adalah meyakinkan parlemen bahwa kepentingan pemberlakuan
tax amnesty memberikan dampak jangka panjang yang penting. Pemerintah harus bersiap diri, jika nanti dalam proses pembahasan ditemukan potensi barter politik di parlemen menyusul tarik ulur pengesahan revisi UU KPK.
"Semoga ini bukan bagian dari barter dengan UU KPK. Saya yakin parlemen punya kepentingan
tax amnesty berjalan, tapi mungkin ada poin-poin yang akan dijadikan alat tawar dengan pemerintah," jelasnya.
Pemerintah dan otoritas pajak, lanjutnya, juga harus bersiap membenahi sistem perpajakan mengingat pemerintah mulai menerapkan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau
Automatic Exchange System of Information (AEoI) antarnegara yang disetujui berlaku mulai 2017 mendatang.
"Yang jelas berbagai prasyarat yang akan memperkuat sistem perpajakan harus secara paralel dipikirkan, tidak seperti sekarang yang seolah itu didiamkan saja," katanya.
(ags)