Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik mengenai penetapan skema pengembangan dan pembangunan fasilitas liquifikasi gas alam (LNG) Blok Masela kian bergulir.
Seiring dengan memanasnya silang pendapat antara dua menteri di Kabinet Kerja Jokowi, kini giliran beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Daerah (DPD) asal Provinsi Maluku mulai angkat bicara mengenai skema yang tepat untuk wilayah kerja yang memiliki cadangan gas terbukti sebanyak 10,7 triliun kaki kubik (TCF).
"Kami tegas memilih onshore (darat). Saya melihat dampaknya (bisa) langsung dirasakan dengan masyarakat. Keputusan memang kayak orang gila. Tapi kalau gak dikerjakan, kita hanya bisa jadi market negara-negara lain," ujar anggota DPR RI, Mercy Barends di Jakarta, Senin (7/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Mercy, anggota DPD asal Maluku Nono Sampono mengatakan dipilihnya skema darat ketimbang laut (offshore) didasarkan pada upaya antisipasi konflik antara Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Australia dan Timor Leste.
Nono menjelaskan, kemungkinan ini bisa terjadi lantaran dalam landasan hukum kontinental dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara tetangga tadi bisa menganggap keberadaan Masela sebagai wilayahnya.
"Jadi masyarakat maluku sudah bulat menginginkan onshore," tegasnya.
Menyusul sikap tadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), Amien Sunaryadi menyerahkan segala keputusan ke tangan Presiden dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Meski begitu, ia tetap berkukuh merekomendasikan pembangunan fasilitas likuifikasi Blok Masela dibuat secara terapung atau berkonsep FLNG.
"Saya ingin mengatakan apapun hasil di sini hanya memberi masukan. Tidak memberi nilai dalam arti signifikan. Baik Menteri ESDM, Menko Maritim. Adanya (putusan) di Presiden," imbuh mantan pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) ini.
(dim)