Setoran Cukai Rokok Diragukan jadi Andalan Penerimaan Negara

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Selasa, 08 Mar 2016 11:01 WIB
Penerimaan kepabeanan dan cukai turun sekitar 64 persen, dari sebesar Rp22,5 tiriliun hingga Februari 2015 menjadi hanya Rp8,1 triliun per Februari 2016.
Ilustrasi penerimaan negara dari cukai roko. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sampai Februari 2016 lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) mencatat terjadinya penurunan penerimaan sekitar 64 persen, dari nilai tahun lalu sebesar Rp22,5 tiriliun menjadi hanya Rp8,1 triliun.

Anjloknya penerimaan bea dan cukai terutama disebabkan oleh turunnya penerimaan cukai yang mayoritas berasal dari cukai hasil tembakau (CHT). Realisasi penerimaan CHT turun dari Rp17,3 triliun menjadi hanya Rp2,3 triliun.

Pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.04/2015 mengenai Penundaan Pembayaran Cukai Hasil Tembakau mulai 1 Januari 2016 diakui Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mempengaruhi penerimaan cukai di awal tahun. Aturan tersebut mengharuskan seluruh pita cukai yang dipesan pada tahun 2015 dilunasi paling lambat 31 Desember 2015, sehingga pembayaran yang seharusnya masuk di bulan Januari – Februari 2016 sudah dibukukan di Desember tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebijakan tersebut, ditambah kenaikan tarif cukai rokok mendorong pabrikan memperbanyak pemesanan pita cukai di akhir 2015.

“Belum bisa diprediksi apakah kinerja industri akan mengalami perbaikan tahun ini. Pelaku industri masih berusaha menyesuaikan dengan pemberlakuan kenaikan tarif cukai dan kenaikan tarif PPN Hasil Tembakau.” ungkap Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti, Selasa (8/3).

Moefti melanjutkan, di tahun 2015, penerimaan cukai hasil tembakau berhasil mencapai Rp139,5 triliun, setara dengan 9,4 persen realisasi penerimaan negara.

“Saat ini rokok menyumbang 96 persen dari pendapatan cukai, penting sekali untuk tidak terus menerus membebani industri dengan berbagai pungutan lain, termasuk jangan ada kenaikan cukai di tengah tahun dengan alasan tidak terpenuhinya target cukai,” tegas Moefti.

Senada dengan Gaprindo,!Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Jawa Timur Sulami Bahar meminta agar Pemerintah tidak lagi membebani industri tembakau dengan pajak dan cukai tinggi. Ia menilai akan lebih baik Pemerintah membuat grand design bagaimana melindungi pabrik rokok dari ancaman gulung tikar.

“Kenaikan cukai yang semakin tinggi sudah pasti akan berimbas pada PHK yang lebih besar. Sangat ironis, industri rokok yang sudah berkontribusi besar justru diperlakukan seperti ini," ujar Sulami.

Kinerja industri hasil tembakau sendiri terkait erat dengan sektor industri lain sebagai pemasok bahan baku. Saat ini industri rokok nasional merupakan penyerap utama hasil pertanian tembakau dan cengkeh di Indonesia.

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I Ketut Budiman, dengan menurunnya penerimaan cukai, itu berarti ada beban yang tengah ditanggung oleh produsen rokok. Dengan kenaikan cukai yang tinggi, pabrik rokok akan melakukan efisiensi.

“Tentu ini akan mengorbankan industri dari hulu hingga hilir,” jelasnya.

Budiman mengaku, industri cengkeh di Indonesia sangat bergantung pada industri rokok. Pasalnya, hasil produksi cengkeh sebanyak 93 persen diperuntukkan untuk industri rokok.

“Jika produksi rokok terganggu, tentu kami pun akan terganggu,” jelasnya.

Budiman melanjutkan, kelangsungan industri rokok sangat penting dan perlu dipertahankan karena langsung berdampak pada petani-petani cengkeh. Industri yang produktif seperti ini seharusnya dilindungi dan dibina, dari hulu sampai hilir, jangan terus-menerus dibebani dengan kebijakan yang mencekik, seperti terus menerus menaikkan besaran cukai. “Panen raya baru-baru ini bagus, jangan sampai tidak terserap,” ujarnya. (ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER