Menko Darmin Protes Perilaku Negara Pembeli CPO Indonesia

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 16 Mar 2016 10:22 WIB
Isu pemanasan global kerap dituding hanya menjadi tanggung jawab negara-negara produsen minyak kelapa sawit oleh negara-negara maju.
Isu pemanasan global kerap dituding hanya menjadi tanggung jawab negara-negara produsen minyak kelapa sawit oleh negara-negara maju. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan).
Bali, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memprotes perlakuan negara-negara pembeli minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia, yang kerap membebani perusahaan-perusahaan dengan berbagai instrumen tarif impor.

Pemanasan global menurut Darmin selalu menjadi alasan utama negara maju pembeli CPO Indonesia untuk mengatur berbagai syarat ketat bagi perusahaan yang ingin memasok ke negaranya. Darmin menyebut kesepakatan negara Eropa untuk membatasi peningkatan temperatur global di bawah ambang 2 derajat celcius dalam Conference on Parties (COP) 21 di Paris telah mempersulit negara-negara produsen CPO.

“Bahkan ada yang mendesak untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat celcius. Karena itu penting menegaskan kembali kewajiban yang mengikat negara-negara maju di bawah UNFCCC untuk membantu negara-negara berkembang sehingga bisa mendukung upaya ini,” tegas Darmin saat membuka Konferensi Sawit dan Lingkungan (ICOPE) ke-5 di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Darmin negara-negara maju harus mengakui bahwa dalam jangka panjang, negara dengan produk yang kompetitif lebih mungkin untuk berhasil, lebih mungkin bisa memberantas kemiskinan, lebih mungkin dapat menempatkan sumber daya tambahan untuk melindungi rakyatnya, lingkungan dan kepentingan ekonomi - dibandingkan dengan negara-negara tanpa produk kompetitif.

“Karena itu, setiap negara harus mencoba untuk mencari tahu produk yang kompetitif dan terus mengembangkannya. Negara-negara maju juga harus mencoba untuk menyediakan dana ketimbang hanya bicara soal pemanasan,” tegasnya.

Karena itu, mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu menyebut seluruh negara di dunia harus mengubah pola pikir bahwa menjaga keberkelanjutan lingkungan bukan hanya tanggung jawab produsen, tetapi juga menjadi tanggung jawab konsumen.

“Kami berharap mitra kami untuk bekerja sama tidak hanya untuk mendorong praktik lingkungan di negara produsen tetapi lebih penting juga membantu membiayai praktik sustainablity dengan membayar secara premium produk yang berkelanjutan. Boikot produk seperti yang terjadi dalam kasus Iran, Korea Utara tidak akan menjadi win-win solution. Saya percaya pada dialog,” tegasnya.

Indonesia sendiri menurutnya telah berupaya menjaga lingkungan dengan meluncurkan inisiatif Biodiesel B-20 pada 2015. Inisiatif ini merupakan dorongan utama untuk energi campuran, karena sebelumnya Indonesia sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Sebagai negara pengimpor, Indonesia membutuhkan sumber energi yang lebih berkelanjutan.

“Adanya permintaan tambahan untuk CPO telah mampu mendongkrak harga CPO - naik tipis menjadi US$565 per ton dari US$535 per ton ketika kita mulai mengumpulkan retribusi untuk program biodiesel,” jelas Darmin.

Melindungi Petani

Kebijakan biodiesel dan pungutan dana CPO yang diterapkan pemerintah Indonesia menurutnya tidak hanya menciptakan permintaan tambahan untuk CPO, tetapi juga melindungi petani kecil dari potensi krisis karena penurunan harga tandan buah segar.

Ia menyebut CPO merupakan salah satu sektor yang kompetitif dan telah menjadi alat yang efektif untuk pengentasan kemiskinan.

“Satu hektare perkebunan CPO, misalnya, dapat menghasilkan rata-rata 3,8 ton minyak. Pada harga saat ini, itu kira-kira dapat menghasilkan US$2.150 per hektare. Bandingkan dengan perkebunan karet dengan tingkat produktivitas 1 ton per hektar yang hanya menghasilkan US$1.500 per ton,” katanya.

Perkebunan sawit tersebut menurutnya rata-rata membutuhkan 0,12 pekerja per hektare. Sehingga kebutuhan ini memainkan peran sangat besar untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk Indonesia.

“Perkebunan sawit mampu menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta tenaga kerja tidak langsung serta berkontribusi besar terhadap ekspor non-migas Indonesia,” jelas Darmin.

Pada 2015, perkebunan CPO Indonesia sudah mencapai 11 juta hektar, dengan total produksi mencapai 32 juta ton. Sebanyak 45 persen dari lahan ini milik petani, sisanya dikuasai oleh korporasi dan BUMN. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER