Menko Darmin Minta Mitra Dagang Hargai Mahal CPO Indonesia

CNN Indonesia
Rabu, 16 Mar 2016 18:58 WIB
Indonesia pada 2015 menghasilkan 31,3 juta ton CPO dan turunannya atau sebesar 52,5 persen dari produksi produk kelapa sawit dunia yang mencapai 59,6 juta ton.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution di Istana Negara, Jakarta, Senin, 21 Desember 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Bali, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia mempersyaratkan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunan yang lebih tinggi bagi negara-negara mitra ekspor yang memaksakan sistem produksi ramah lingkungan bersertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution beralasan pelaksanaan RSPO membutuhkan biaya besar sehingga bisa menggerus keuntungan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.

Untuk itu, ia menganggap sudah saatnya negara konsumen produk kelapa sawit dari Indonesia ikut berkontribusi secara finansial agar keberlanjutan perkebunan sawit tetap terjaga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau negara-negara tujuan ekspor minta kita sustainable palm oil, apakah mereka mau bayar lebih untuk itu? Biaya sustainable palm oil itu mahal, dan tidak bisa ditanggung oleh produsen sendiri. Kalau memang konsumennya mau kriteria produk seperti itu, harusnya mereka juga bantu secara finansial dengan membeli secara harga premium," jelas Darmin di sela-sela International Conference on Palm Oil and Environment (ICOPE) di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/3).

Ia menambahkan, Indonesia berani menawarkan hal tersebut karena produksi produk kelapa sawit akan semakin berkualitas jika standarisasi sustainable palm oil bisa dijalankan. Terlebih, saat ini Indonesia adalah pemain utama produksi kelapa sawit di dunia.

Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Indonesia pada tahun ini menghasilkan 31,3 juta ton CPO dan turunannya atau sebesar 52,5 persen dari produksi produk kelapa sawit dunia yang mencapai 59,6 juta ton.

"Tapi bukan berarti nanti permintaan ini bisa langsung diterima oleh negara-negara tujuan ekspor. Kami akan membuka dialog," ujar Darmin.

Menyambung pernyataan Darmin, Deputi bidang Pertanian dan Pangan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud mengatakan produk kelapa sawit asal Indonesia di negara tujuan ekspor seharusnya sudah dilabeli harga premium semenjak dulu. Pasalnya, negara-negara pengimpor produk kelapa sawit Indonesia sebelumnya memang sudah sepakat untuk membeli produk kelapa sawit dengan harga lebih tinggi demi mendukung sustainable palm oil.

"Sekarang saatnya kami menagih janji tersebut, karena hal itu memang sudah kesepakatan bersama. Tapi saya belum bisa sebutkan nama-nama negara yang sekiranya mau mengabulkan keinginan kami ini dalam jangka waktu dekat," tuturnya.

Sebagai informasi, produksi kelapa sawit Indonesia telah dilakukan secara berkelanjutan berbasiskan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sejak tahun 2011. Namun, sertifikasi tersebut ditolak oleh pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa karena kedua regional tersebut menggunakan sertifikasi RSPO.

Kementerian Pertanian mencatat sampai saat ini terdapat 149 perusahaan yang telah mengikuti standar ISPO dengan total luasan lahan sebesar 1,2 juta hektare.

Berdasarkan catatan GAPKI, nilai ekspor minyak sawit Indonesia tahun lalu hanya mencapai US$ 18,64 miliar atau turun 11,67 persen dibandingkan 2014 sebesar US$ 21,1 miliar. Kendati demikian, ekspor CPO dan turunannya secara volume mengalami peningkatan sebesar 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 26,4 juta ton di mana India, negara-negara di Uni Eropa dan China sebagai pasar utamanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER