Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit tak akan mengubah target total pungutan dana tahun ini sebesar Rp 9,5 triliun, meski saat ini BPDP telah menurunkan pungutan untuk cangkang kelapa sawit berjenis kernel serpih dari US$10 per ton menjadi US$3 per ton yang dimulai sejak 1 Maret 2016 yang lalu.
Direktur Penyaluran BPDP Sawit, Dadan Kusdiana beralasan ketetapan diambil menyusul tren penaikan harga jual minyak mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang mulai terlihat sejak beberapa waktu terakhir.
Dadan mengatakan, saat ini harga CPO dibanderol US$650 per metrik ton dari harga kisaran rata-rata US$535 hingga US$575 per metrik ton pada bulan Januari lalu sehingga ada harapan ekspor akan naik kembali.
"Kami masih masukkan cangkang sawit itu ke dalam target pungutan kami tahun ini sebesar US$9,5 triliun mesk ipun memang penerimaannya tidak seberapa karena tarif pungutan bagi cangkang ikut berkurang," kata Dadan di sela-sela International Conference on Palm Oil and Environment (ICOPE) di Nusa Dua, Kamis (17/3).
Dadan mengungkapkan, ketetapan pengurangan tarif pungutan cangkang sawit sendiri diputuskan tak lepas dari adanya protes para produsen menyusul penetapan tarif pungutan yang dinilai terlalu mahal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, produsen berpandangan pasar utama cangkang sawit dalam negeri adalah pasar ekspor dan belum dimanfaatkan dengan baik di domestik.
Ia mengatakan, cangkang sawit merupakan komoditas berharga karena bisa menjadi bahan bakar pembangkit listrik.
Oleh karenanya pengenaan tarif pungutan cangkang sawit yang tinggi pada awalnya merupakan ide yang ideal.
"Namun setelah diimplementasikan, ternyata permintaan cangkang sawit dari dalam negeri ini sedikit karena kami belum memiliki teknologi yang bisa mengolah listrik dari cangkang sawit. Maka dari itu, tarifnya lebih baik diturunkan," jelasnya.
Meski begitu, Dadan bilang pemerintah sedianya akan mengembalikan angka pungutan cangkang sawit menjadi US$10 per metrik ton dengan sistem progresif.
Hal itu tambahnya, dilakukan seiring Indonesia menyiapkan teknologi dan aturan khusus yang bisa mengubah cangkang sawit menjadi energi baru terbarukan.
Di mana menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 30 tahun 2016 tentang Perubahan Atas PMK No 133 Tahun 2015 tentang Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan dijelaskan bahwa tarif ekspor cangkang sawit jenis ini hanya berlaku dalam tenor satu tahun, yaitu dari 1 Maret 2016 sampai 28 Februari 2017.
Sementara untuk tarif ekspor per 1 Maret 2017 sampai 28 Februari 2018 akan naik menjadi 5 persen dan angkanya meningkat lagi menjadi US$ 10 per ton mulai 1 Maret 2018.
"Sambil menunggu kesiapan dalam negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan aturan tentang listriknya. Dan ketika itu selesai, nanti kami akan halangi lagi untuk ekspor," tuturnya.
Seperti diketahui, sampai akhir tahun mendatang BPDP Sawit dapat menampung pungutan dana sebesar Rp 400 miliar hingga Rp 500 miliar dari ekspor cangkang sawit.
Dengan angka kontribusi sebesar 4,21 - 5,26 persen dari target penerimaan, Dadan menilai angka ini tidak signifikan bagi penerimaan negara.
"Kami tetap andalkan pungutan dari ekspor CPO agar pungutan capai target," ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO pada bulan Februari meningkat dibandingkan bulan sebelumnya dengan besaran 12,9 persen.
Sementara itu, nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun lalu hanya mencapai US$ 18,64 atau turun 11,67 persen dibandingkan 2014 sebesar US$ 21,1 miliar, namun naik 21 persen secara volume