Jakarta, CNN Indonesia -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak diberlakukannya pungutan tarif progresif penimbunan kontainer oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Pelindo II sejak 1 Maret 2016. Kadin menilai kebijakan tersebut malah meningkatkan biaya logistik, karena tarif inap kontainer pada hari kedua langsung meningkat 900 persen.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi mengatakan kebijakan tersebut tidak melihat situasi dan kondisi yang berlaku di lapangan. Menurutnya, pekerjaan bongkar muat peti kemas oleh otoritas pelabuhan memakan waktu sampai empat hingga lima jam dengan rata-rata waktu kedatangan kapal pukul 22.00-23.00, sedangkan tarif progresif mulai berlaku sejak pukul 24.00.
"Kadin tidak sepakat dengan beleid atau pengenaan tarif progresif 900 persen. Ini melukai rasa keadilan pengguna jasa di pelabuhan, karena biaya logistik jadi tinggi. Dampak pemberlakuan sudah dirasakan pengusaha," jelas Rico, Kamis (17/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, Kadin tak keberatan dengan sistem tarif progresif asalkan tidak langsung dibebankan di hari kedua pasca kontainer tersebut datang. Namun, ia tak mengira angka tarifnya bisa melonjak hingga 900 persen dan dibebankan per hari inap kontainer.
"Padahal sebelumnya tiga hari pertama
free, hari keempat dikenakan 500 persen, hari ketujuh dipungut 750 persen. Itu tidak kita ganggu, tapi sekarang menjadi hari kedua sebesar 900 persen. Belum lagi ada pinalti atas penumpukan barang. Jadi sudah naik tinggi tarifnya, terus kita juga dikenakan pinalti atau denda," tambahnya.
Dwelling TimeIa melanjutkan, kebijakan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 117 Tahun 2015 tentang Relokasi Barang atau Peti Kemas di Tanjung Priok. Dalam Pasal 3 beleid tersebut, tertulis bahwa pemilik barang atau importir mendapat kelonggaran menumpuk barang di pelabuhan selama tiga hari.
"Ini jelas tidak sinkron, dan tidak sesuai dengan arahan Presiden. Kalau tujuannya mau menurunkan
dwelling time (waktu bongkar muat kapal) bukan dengan menaikkan tarif, karena malah bikin biaya logistik mahal.
Dwelling time bisa turun dengan simplifikasi aturan, bangun infrastruktur dan lainnya," tegasnya.
Rico melanjutkan, Kadin juga memiliki data lebih rinci terkait biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pelaku usaha yang bersentuhan dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Dia menilai, aturan yang dikeluarkan Pelindo II tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Jangan demi mengejar
dwelling time, lantas membuat peraturan kenaikan tarif tanpa memperhatikan daya saing kita di dalam negeri. Keputusan seperti ini sangat melukai keadilan ekonomi dan bukan
win-win solution," ungkap Rico
Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) Cikarang Dry Port Benny Woernardi mengatakan saat ini tarif dasar penimbunan peti kemas di Tanjung Priok tergolong murah, yaitu sebesar Rp27.200 per peti kemas berukuran 20 kaki dan Rp54.400 per peti kemas dengan ukuran 40 kaki. Namun, jika tarif progresif tersebut diterapkan, ia menganggap angkanya cukup fantastis.
“Saya menghitung rata-rata penalti itu mencapai Rp244.800 per peti kemas per hari untuk 20 kaki. Sedangkan untuk 40 kaki mencapai Rp489.600 per peti kemas per hari. Angka tersebut belum termasuk biaya-biaya lainnya," ujar Benny.
Sebagai informasi, kebijakan yang berlangsung sejak awal Maret itu berdasarkan surat keputusan Direksi Pelindo II, Nomor HK.568/23/2/1/PI.II tentang tarif pelayanan jasa peti kemas pada terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok.