Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) meragukan efektivitas dalam memungut pajak dari pembukaan data transaksi kartu kredit, meski secara normatif pembukaan data tersebut tidak bertentangan langsung sesuai Undang-Undang Perbankan.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan aturan yang memperkenankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menilik data nasabah pemilik kartu kredit. Hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat ketentuan tersebut tidak masalah secara normatif karena data transaksi kartu kredit tidak termasuk yang dirahasiakan dalam Undang-Undang Perbankan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara legal formal, data ini bukan rahasia, artinya DJP bisa mengakses. Dalam hal ini, kerahasiaan tidak menjadi isu," ujar Prastowo kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/3).
Prastowo justru menyoroti efektivitas dalam memungut pajak untuk setiap transaksi kartu kredit. Menurutnya, akan lebih efektif memikirkan skenario dan cara memungut pajak saat mereka melakukan transaksi, lewat provider kartu kredit. Apalagi, lanjutnya, upaya akses data dibutuhkan untuk mengejar potensi.
"Perlu dipikirkan cara
withholding yang efektif, misalnya pemungutan pajak penghasilan (PPh) melalui bank atau provider jasa, dengan tarif tertentu yang rendah dan dapat dikreditkan (supaya di akhir tahun melapor)," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya ada integrasi atau koneksi yang otomatis dengan DJP. Seperti menyinkronkan standar data Nomor Induk Kependudukn (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ia juga menyarankan kewajiban pelaporan data kartu kredit sebaiknya diberikan batasan untuk kartu kredit dengan pagu transaksi minimal Rp50 juta atau kartu jenis platinum.
"Tapi yang sekiranya potensial, misalnya kartu kredit limit di atas Rp50 juta (platinum). Ini akan memberi rasa nyaman di kelas menengah yang sebagian besar karyawan dan gajinya sudah dipotong perusahaan," katanya.
Lebih jauh ia juga meminta upaya pemerintah dan otoritas untuk melakukan sosialisasi kepada publik pasalnya isu tersebut bersinggungan langsung dengan privasi dan kepercayaan nasabah dalam menggunakan kartu kredit.
"Privasi ini bisa berpengaruh ke
trust dan justru motif menghindari transaksi dengan kartu kredit. Padahal BI dan pemerintah mendukung
cashless transaction. Perlu dipikirkan harmonisasinya," jelasnya.