Ditjen Pajak Jamin Kerahasiaan Data Kartu Kredit

CNN Indonesia
Jumat, 01 Apr 2016 14:27 WIB
Ini dilakukan lantaran kewajiban menjaga kerahasiaan data merupakan amanat Undang Undang Pajak yang tidak boleh dilanggar.
Dua pelajar memperlihatkan kaleng tabungan bertuliskan sosialisasi pajak bertajuk ''Tax Goes to School'' di SMK Negeri 2 Kota Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (29/3). ( ANTARA FOTO/Budiyanto)
Jakarta, CNN Indonesia --
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menjamin kerahasiaan ihwal data nasabah pemilik kartu kredit yang dilaporkan bank setiap bulan.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Edi Slamet Irianto mengatakan, ini dilakukan karena kewajiban menjaga kerahasiaan data merupakan amanat Undang Undang Pajak yang tidak boleh dilanggar.

"Seluruh petugas Ditjen Pajak diberikan amanat untuk menjaga kerahasiaan atas data pajak yang diketahuinya. Kalau dibocorkan bisa dituntut," kata Edi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Edi menegaskan, tujuan pelaporan data transaksi kartu kredit bukanlah untuk bukanlah untuk memata-matai harta kekayaan para nasabah.

Melainkan kata dia, upaya ini hanya sebagai bahan pertimbangan dalam menghitung pajak secara objektif.

"Ini tidak dimata-matai. Kita sebelumnya juga sudah mendapatkan data dari cara pembayaran yang dilakukan dalam tiap transaksi, karena biasanya penjual (merchant) sudah melaporkan di SPT PPN, faktur pajak penjualan," jelas Edi.

Dilindungi UU

Di Indonesia, untuk mengakses data sektor perbankan seperti simpanan dan deposito masih sulit dilakukan mengingat saat ini sektor tersebut dilindungi oleh Undang-undang Perbankan yang menjamin kerahasiaan data para nasabah.

Karena sulit mengakses data simpanan, maka alternatifnya Ditjen Pajak bisa mengintip data transaksi kredit yang kerahasiaannya tidak dilindungi oleh UU perbankan. Dari data tersebut profil belanja wajib pajak bisa diketahui setiap bulannya.

Edi menyontohkan, seorang wajib pajak yang setiap bulannya mencapai Rp5 juta dalam laporan SPT, namun transaksi kreditnya bisa mencapai Rp20 juta per bulan.

"Berarti mengaku Rp5 jutanya selama ini tidak benar. Jadi pajaknya harus diperbaiki," imbuhnya.

Menurut Edi, praktik mengintip data seperti ini sudah menjadi best practice di beberapa negara, namun dengan cara pendekatan yang berbeda-beda.

Oleh sebab itu ia menilai tidak ada yang perlu dikhawtirkan dari penerapan kebijakan ini.
"Ini sebagai bahan pertimbangan bukan sebagai dasar menghitung. Harus dibedakan itu," tandasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER